Perjalanan malam itu dari Tampur Paloh menuju Desa Melidi di Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, ditempuh dengan menyusuri Sungai Tamiang. Sang juru kemudi, Pakat (35) paham betul kondisi medan. Meski cuaca sudah gelap, namun Pakat tidak membolehkan satu orang pun menghidupkan lampu senter.
Sesekali, Pakat melambatkan laju boat ketika kondisi sungai dangkal atau ada kayu yang bertebaran. Arus sungai malam itu memang sedikit dangkal namun arus lumayan kencang. Perjalanan antar desa ini ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit.
"Perjalanan ini risikonya kalau air surut karena boat bisa kandas. Tapi saya sudah paham medannya," kata Pakat saat ditemui detikcom, Senin (4/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tugasnya kala itu, selain memotong kayu juga sebagai pengemudi boat. Kayu yang dibawa ke Aceh Tamiang biasanya diikat menjadi satu tumpuk dan diikat di belakang boat. Kayu tersebut ditarik bejam-jam hingga tiba ke lokasi tujuan. Di tempat penampung itulah, kayu baru diangkut melalui jalur darat.
Proses penyelundupan kayu ini dilakukan biasanya pada malam hari. Pakat yang sudah bekerja sebagai pembalak sejak belasan tahun lalu itu menjadi salah satu pengemudi boat andalan. Pasalnya, dia mampu melewati lokasi berbahaya dengan penuh perhitungan.
"Saya taubat dari pembalak setelah ditangkap polisi sekitar dua tahun lalu. Saya tiga malam ditahan di Polres Aceh Timur," jelas Salim.
Penghasilan yang didapatnya saat menjadi pembalak memang tidak banyak. Namun Pakat enggan menyebut nominal yang pernah didapatnya selama menebang kayu-kayu di hutan. Setiap ditanya penghasilan, Pakat lebih memilih tertawa.
"Lebih banyak penghasilan tarik sewa," ungkap Pakat.
Bagi Pakat, menjadi sopir boat membawa penumpang memang penuh resiko. Jika boat terbalik, maka nyawa menjadi taruhan. Pernah suatu ketika, Pakat membawa penumpang dari Aceh Tamiang menuju desanya, Melidi. Saat itu, arus memang sangat deras dan sungai meluap.
Pakat sudah mengemudi boat dengan penuh hati-hati. Saat hendak melewati batu katak, penumpang diminta turun dan berjalan melewati tebing gunung. Sementara boat berisi barang-barang milik penumpan dan Pakat duduk di bangku kemudi.
"Boat tiba-tiba nggak dapat melewati batu katak dan sempat tenggelam. Barang berhamburan semua dan banyak yang hilang ketika boat muncul kembali. Saya harus bayar barang penumpang waktu itu sekitar Rp 2 juta," ungkapnya.
Tantangan terbesar dari Desa Melidi ke Aceh Tamiang atau sebaliknya memang di batu katak. Batu ini berukuran besar dan membentang. Jika sungai meluap, maka batu katak tidak terlihat. Pernah pada 2013 silam, tiga orang tewas akibat boat menabrak batu ini. Tapi mau tidak mau warga harus melewati wilayah ini karena jalur transportasi satu-satunya yang menghubungkan ke pedalaman Aceh ini hanya melalui Sungai Tamiang.
"Susah lewat di batu katak. Itu resikonya. Harus punya keahlian khusus untuk melewati batu katak," jelas Pakat.
Selama menjadi sopir boat untuk narik penumpang, pendapatan Pakat tidak menentu. Untuk penumpang yang turun ke Aceh Tamiang, biasa dipatok ongkos Rp 50 ribu/orang persekali jalan. Namun jika sewa khusus satu boat, maka biayanya sekitar Rp 1,5 juta untuk pulang pergi.
Sekali jalan, Pakat menghabiskan bahan bakar sekitar Rp 400 ribu. Jika memang tidak banyak penumpang, Pakat hanya mendapat pendapatan sekitar Rp 700 ribu belum termasuk bahan bakar.
"Kadang turun (dari Melidi ke Aceh Tamiang) ada sewa. Tapi pulang gak ada sewa. Sekarang kerja saya cuma di sini saja," jelas dua ayah ini. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini