Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau, Suharyono, berbicara kepada detikcom, Rabu (4/4/2018). Konflik hewan dan manusia di kawasan ini tak bisa dilepaskan dari ekspansi perkebunan sawit yang masif.
Baca juga: Aksi Keji 4 Sekawan Pembantai Beruang Madu |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembantaian beruang terjadi di Parit IX Desa Mumpa, Kecamatan Tempuling, Inhil, di area perkebunan. Kata Suharyono, empat pelaku pembantaian beruang juga merupakan pekerja harian di perkebunan. Perkebunan di kawsan ini sudah lama ada.
"Sebelum kabinet sekarang, kebun itu sudah ada. Kalau melihat tanaman di situ, yang jelas umur tanamannya sudah di atas tujuh tahun atau delapan tahun," kata Suharyono.
Dia menilai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di sini masih belum tuntas diatur, menyebabkan masalah di aspek legalitas atas lahan-lahan di sini. Ditambah lagi perambahan hutan juga marak terjadi. Akibatnya ruang hidup satwa terdesak dan harus berkonflik dengan manusia.
"Maraknya perubahan fungsi dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan itu menjadi sangat-sangat sporadis terjadi di Riau. Mungkin inilah akibatnya (konflik hewan vs manusia)," kata dia.
![]() |
Di sekitar Inhil, ada Suaka Marga Satwa Kerumutan. Ada pula Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang jaraknya kurang dari 50 km dari tempat beruang-beruang dibantai.
"Kerumutan itu ya juga tempatnya si Bonita itu, meski ini tidak satu kawasan namun masih satu lansekap," kata dia.
Ternyata ada banyak hutan konservasi di kawasan Inhil dan sekitarnya. Berarti tentu saja hutan konservasi ini lebih luas ketimbang perkebunan sawit, bukan begitu?
"Aduh, enggak ada apa-apanya. Yang jelas luasan kawasan konservasi kita semakin kecil. Faktanya, memang lebih banyak hutan produksi dan hutan lindung yang banyak dikonversi menjadi perkebunan," kata dia.
Dia menconontohkan Taman Nasional Tesso Nilo yang membentang di Kabupaten Pelalawan, Kampar, dan Indragiri Hulu, Riau. "Itu sisa hutannya tidak lebih dari 30%, sisanya sudah dirambah," ucapnya getir.
Ada pula Suaka Marga Satwa Balai Raja, Bengkalis, Riau. Kawasan Balai Raja adalah habitat gajah. "Namun kondisinya saat ini cukup memprihatinkan. Di habitat gajah itu, kawasan hutannya sudah terambah lebih dari 50%, atau mungkin 80%!" ungkapnya.
Secara umum, Suharyono memaparkan, KSDA Riau membawahi 21 kawasan hutan konservasi, luas totalnya sekitar 423 ribu hektare, tersebar di dua provinsi yakni Kepulauan Riau dan Riau. Di luar yang ditangani oleh KSDA Riau, ada Taman Nasional Tesso Nilo yang punya luas hampir 90 ribu hektare, Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Riau dan Jambi lebih dari 110 ribu hektare, dan juga Taman Hutan Raya punya luas sekitar kurang dari 5 ribu hektare.
"Kelihatannya luas, tapi tercabik-cabik. Itu hanya pemahaman luasan secara konstruksi hukum. Faktualnya, banyak kawasan konservasi yang sudah diduduki oleh kelapa sawit," kata Suharyono. "Kalau seluruh kawasan konservasi di Provinsi Riau, dibandingkan dengan kawasan sawitnya, ya masih kalah semua kawasan konservasinya."
Keruan saja dengan kondisi seperti itu, konflik antara hewan dan manusia seakan tak terelakkan. Pada dasarnya, beruang bisa hidup di mana saja selagi makanannya tersedia. Beruang biasa memakan semut, rayap, atau madu.
"Jadi memang situasi kawasan hutan di Riau cukup memprihatinkan. Harus ada sebuah kebijakan tingkat atas untuk menangani hal ini. Bila sudah existing menjadi kebun dan segala macam, maka pemahaman tentang konservasi satwa harus tetap ada. Seperti Bonita kemarin, kemudian muncul lagi kasus beruang. Jangan sampai selalu satwa yang disalahkan," kata Suharyono.
(dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini