Sekolah Ramah Difabel
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Sekolah Ramah Difabel

Senin, 02 Apr 2018 11:39 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Sudah lama sopir saya cerita bahwa anaknya lumpuh satu tangan kanan, sepertinya ada masalah saraf. Tapi baru sekarang saya tahu anaknya sekolah di SLB. Saya kaget. Anak ini tidak perlu dimasukkan ke kategori berkebutuhan khusus, seharusnya bisa sekolah bersama anak-anak lain.

"Nggak kuat, Pak. Diejek sama teman-temannya," katanya.

Kok bisa? Ini kan sekolah? Sekolah seharusnya tempat anak-anak dididik untuk menghargai manusia lain. Tapi begitulah. Sekolah pun tidak selalu merupakan lembaga pendidikan. Banyak hal tidak mendidik justru terjadi di sekolah, bukan?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekolah sering kali merupakan tempat orangtua menunaikan kewajiban belaka. Orangtua merasa punya tanggung jawab mendidik anak. Maka mereka mengirim anak-anak ke sekolah. Maka tugasnya sebagai orangtua dianggap selesai.

Demikian pula halnya dengan guru. Mendidik bagi sebagian guru adalah datang ke sekolah pagi hari dan pulang di sore hari, serta mengajar di kelas. Bagi sebagian yang lain, sekolah hanyalah tempat mencari nafkah.

"Anak saya mentalnya lemah," keluh sopir saya lagi. Tentu saja. Tidak mudah bagi seseorang yang memiliki perbedaan dengan orang-orang di sekitarnya untuk menerima dirinya sendiri. Setiap kali ia ingin bertindak seperti anak-anak lain, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa pada titik tertentu ia tidak bisa. Ia ibarat seseorang yang disuruh bekerja dengan satu tangan terikat.

Anak seperti ini memerlukan pendampingan yang khusus dari orangtuanya. Ia harus diajarkan sikap percaya diri, menerima kenyataan bahwa ia berbeda. Tapi dengan perbedaan itu ia sanggup hidup seperti manusia lain. Ada hal tertentu yang tidak bisa ia lakukan, tapi itu tidak mengurangi kelayakannya untuk hidup sebagai manusia.

Ada anak yang menganggap seorang anak lain yang berbeda sebagai objek untuk dinakali. Ini adalah titik api, tempat masalah bermula. Ketika ada seorang anak berani mengganggu, itu akan membuka peluang bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Maka, kenakalan seharusnya dicegah pada titik itu, sebelum menjalar.

Tapi biasanya kenakalan selalu lebih cepat dan lebih cerdik daripada tindakan guru. Terlebih bila tindakan guru hanya ala kadarnya. Sangat sering guru menyerah dengan cepat. "Mau bagaimana lagi? Anak-anak memang sering nakal, dan susah dikontrol. Kita juga tidak bisa setiap saat mengawasinya," begitu dalihnya. Maka kejadian tidak mendidik tadi dianggap sesuatu yang harus diterima. Apa boleh buat.

Pada titik itu sekolah bukan hanya gagal mendidik anak-anak tentang bagaimana orang difabel harus diperlakukan. Sekolah justru seolah sedang mengajarkan bahwa orang difabel harus disingkirkan. Mereka tidak boleh berada di tengah-tengah orang lain. Mereka harus dilokalisir di sebuah tempat yang dibuat khusus untuk mereka. Mereka adalah beban yang harus disingkirkan jauh-jauh. Itu pemahaman yang akan terbentuk dalam pikiran anak-anak.

Itulah yang memang terjadi dalam masyarakat kita. Kaum difabel sering dianggap sebagai beban. Atau, dianggap objek untuk dikasihani. Orang difabel layak disantuni dengan uang receh, dimaklumi, dan dibolehkan mengemis. Bahkan tak jarang diperalat sebagai pengemis.

Idealnya sekolah mendidik siswanya untuk memperlakukan orang berkebutuhan khusus dengan baik. Mendidik, bukan sekadar memberi tahu. Tapi membangun suatu mental dan sikap tentang bagaimana seharusnya bertindak. Ini adalah bagian dari karakter yang harus dibentuk di sekolah. Tanpa adanya siswa berkebutuhan khusus pun, sekolah harus menyadari pentingnya membangun mentalitas dan sikap itu.

Ketika ada siswa difabel di sekolah, maka itu adalah tantangan besar bagi sekolah tersebut. Ini ujian, bukan sekadar akan menguji sekolah akan berhasil membangun suasana ramah difabel atau tidak. Ini ujian, apakah sekolah itu layak disebut lembaga pendidikan atau tidak. Sulit untuk mengatakan orang yang tidak menghargai orang dengan kebutuhan khusus itu sebagai orang terdidik. Kalau sekolah gagal menyediakan tempat yang ramah bagi anak-anak berkebutuhan khusus, artinya sekolah sedang membangun masyarakat yang tidak menghargai mereka.

Sayangnya, kita mendengar ada banyak kejadian serupa. Sekolah gagal menjadi tempat yang ramah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Bahkan pada tingkat di mana kebutuhan khusus itu tidak terlalu khusus. Anak-anak itu hanya sedikit berbeda. Tapi karena sekolah gagal mengajarkan untuk menghormati perbedaan, maka yang berbeda itu sering kali terpaksa harus menyingkir.

Kurikulum pendidikan kita sepertinya memang tidak menyediakan materi khusus tentang bagaimana anak-anak harus bersikap terhadap orang difabel. Sekolah juga jarang mengambil inisiatif untuk membangun kesadaran soal itu. Sayang sekali.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads