Seperti diketahui, PDIP dan Gerindra ada di kubu berseberangan. PDIP adalah jagoan koalisi pro pemerintah. Sementara Gerindra bisa dibilang pemimpin koalisi oposisi. Nah, PD berkonflik dengan dua partai itu.
PD dan Gerindra panas lebih dulu. Adalah Wasekjen PD Rachland Nashidik dan Wasekjen Gerindra Andre Rosiade yang memanaskan suasana. Keduanya berbalas pantun, saling jual beli serangan. Dimulai oleh Andre, yang menyebut keakraban Jokowi dan SBY di Rapimnas PD hanya drama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rachland merespons pernyataan itu. Dia mengungkit Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang tak pernah menang di Pilpres.
"Saya kira itu bagi Pak Prabowo adalah pilihan rasional dan menguntungkan. Dengan segala hormat, adalah fakta Pak Prabowo tidak pernah menang dalam Pilpres," kata Rachland kepada wartawan di hari yang sama dengan pernyataan Andre.
Jual beli serangan keduanya terus berlanjut. Banyak hal jadi perdebatan, mulai dari AHY hingga pidato Prabowo 'Indonesia Bubar 2030', dari Abraham Lincoln hingga John F Kennedy. Hingga akhirnya Andre mengungkit permintaan SBY kepada Prabowo di Pilgub DKI 2017. Informasi yang harusnya disimpan rapat-rapat.
"Bicara soal ambisi, waktu Pilkada DKI kita semua tahu bahwa Pak SBY meminta ke Pak Prabowo agar Bang Sandiaga Uno dijadikan wakilnya AHY," kata Andre dalam keterangannya, Kamis (22/3).
Rachland tampak keberatan dengan pernyataan tersebut. Rachland menyebut Andre terlalu banyak bicara.
"Dia (Andre) bicara terlalu banyak tentang hal yang terlalu sedikit dia ketahui," ujar Rachland di hari yang sama.
Baca juga: PDIP dan PD Panas Lagi Gara-gara Novanto |
Perseteruan PD tak hanya dengan Gerindra. Dengan PDIP, hubungan PD juga memanas. Gara-garanya adalah pernyataan bela diri PDIP terhadap tudingan Setya Novanto. PDIP membela diri dengan menyalahkan PD.
Adalah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyerempet Partai Demokrat dalam pernyataannya. Dia bermaksud menjelaskan PDIP pada era Presiden SBY bersikap sebagai oposisi. Maka PDIP merasa punya tanggung jawab moral menjelaskan duduk perkara PDIP dalam awal usulan e-KTP kala itu.
PDIP menunjuk hidung pemerintah saat itu sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kasus e-KTP. PDIP bahkan menyinggung slogan Partai Demokrat, partai penguasa saat proyek e-KTP bergulir.
"Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab, pemerintahan tersebut pada awal kampanyenya menjanjikan 'katakan tidak pada korupsi', dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi, tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP," kata Hasto dalam pernyataannya kemarin.
Mendengar ucapan Hasto, Partai Demokrat cepat bereaksi. Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik langsung balik menyerang PDIP. Serangan dilancarkan via lima poin pesan ke Hasto. Salah satunya pesan agar PDIP meniru Partai Demokrat yang tak melindungi kadernya ketika kader itu disangka terlibat korupsi.
"Tirulah teladan Partai Demokrat. Meski pahit, jangan lindungi kader yang nyata disangka terlibat kasus Korupsi," kata Rachland.
Tak hanya Rachland, Sekjen PD Hinca Pandjaitan juga angkat bicara. Hinca menuduh PDIP memainkan politik cuci tangan.
"Pernyataan PDIP yang langsung menyalahkan pemerintahan Presiden SBY dan mendiskreditkan Partai Demokrat juga salah alamat. Bukan Partai Demokrat ataupun kadernya yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung, tetapi Setya Novanto (mantan Ketum Partai Golkar). Kalau membantah dan mengatakan kadernya tidak terlibat, bantahannya harusnya kepada Setya Novanto dan KPK," kata Hinca dalam keterangan tertulis pagi ini, Jumat (23/3/2018). (tor/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini