Melawan UU MD3: Makna Tanda Tangan Presiden
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Melawan UU MD3: Makna Tanda Tangan Presiden

Rabu, 21 Mar 2018 15:06 WIB
Bhaktiar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bhaktiarsa Bagus (Foto: istimewa)
Jakarta -

Setelah melewati jalan terjal, revisi Undang-Undang tentang MPR, DPD, DPRD (UU MD3) akhirnya disahkan oleh DPR di Rapat Paripurna pada Senin, 12 Februari 2018. Pengesahan UU MD3 ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat akibat perumusan beberapa pasal yang dianggap bermasalah, secara ekstrem bahkan disebut antidemokrasi.

Permasalahan makin panas setelah pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo telah menyatakan tidak akan menandatangani pengesahan UU tersebut. Lalu permasalahan apa yang sebenarnya terjadi pada UU MD3? Serta bagaimana cara mengatasi permasalahan UU MD3 ini secara bijak?

Setidaknya ada tiga pasal yang dianggap kontroversial yaitu mengenai hak imunitas anggota DPR, hak panggil paksa, serta pasal yang dianggap antikritik terhadap anggota DPR. Pasal 245 UU MD3 mengatur mengenai hak imunitas anggota DPR yaitu pemanggilan bagi anggota DPR yang tersangkut kasus tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 telah memutuskan bahwa penegak hukum hanya perlu mendapat persetujuan Presiden tanpa harus mendapat pertimbangan dari MKD.

Kemudian Pasal 73 ayat 4 UU MD3 mengatur mengenai pemanggilan yang dilakukan oleh DPR yaitu bagi pihak-pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR, maka DPR berhak melakukan pemanggilan secara paksa dengan bantuan Kepolisian. Lalu Pasal 122 huruf k mengatur langkah hukum terhadap masyarakat atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merendahkan kehormatan DPR tentu sangat luas definisinya. Apakah dengan menghina? Apakah dengan melempar anggota DPR ke tong sampah seperti yang terjadi di Ukraina? Atau, kritikan yang menyudutkan? Tentu sangat kompleks apabila mencari batasan mengenai perbuatan merendahkan DPR dan berpotensi menjadi pasal karet yang dapat menjerat masyarakat sewaktu-waktu. Sebenarnya MK pada 2006 lalu telah menghapus pasal penghinaan Presiden dalam KUHP karena menilai pasal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi yang dituntut ketika masa reformasi. Apakah DPR akan bernasib serupa?

Presiden Joko Widodo sendiri secara tegas telah menyatakan tidak akan menandatangani UU MD3 tersebut. Hal ini secara tidak langsung memberikan kelegaan bagi masyarakat, bahwa seolah-olah Presiden juga tidak setuju dengan UU tersebut. Lalu apakah tindakan Pak Joko Widodo adalah tindakan heroik? Belum tentu. Ada andil Pak Joko Widodo dalam terjadinya polemik UU MD3. Sama seperti UU lainnya, UU MD3 juga harus melalui serangkaian proses dari rancangan hingga sah menjadi UU. Serangkaian proses tersebut diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

Pembuatan peraturan perundang-undangan mencangkup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. UU sendiri termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada pasal 7 ayat (1) huruf c UU P3, di bawah UUD 1945 dan Tap MPR serta sejajar dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Artinya, UU tidak boleh menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya yaitu UUD 1945 dan Tap MPR. Pihak yang mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR atau Presiden.

RUU dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden, begitu juga sebaliknya. Kemudian Pasal 65 ayat (1) UU P3 menyatakan bahwa pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Berdasarkan pengaturan pasal tersebut jelas bahwa ketika suatu RUU sedang dalam tahap pembahasan, Presiden juga ikut serta, baik dirinya sendiri atau diwakilkan kepada menterinya. Pembahasan RUU tersebut dilakukan dalam dua tingkat yaitu tingkat I dan tingkat II.

Pembahasan RUU di tingkat II itulah yang disebut Rapat Paripurna. Rapat Paripurna inilah yang menyatakan apakah suatu RUU telah mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden. Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan kembali dalam persidangan DPR. Terkait UU MD3, disahkannya UU tersebut pada Rapat Paripurna jelas menunjukkan bahwa terjadi persetujuan baik di pihak DPR maupun Presiden untuk mengesahkannya yang pada akhirnya berujung pada reaksi keras masyarakat terhadap beberapa pasal pada UU tersebut.

Uniknya, Menkumham Yasonna Laoli menyatakan bahwa dirinya tidak melaporkan revisi UU MD3 kepada Presiden Joko Widodo. Terlepas dari siapa yang membahas suatu RUU, apakah Presiden sendiri atau menterinya, sudah sepatutnya Presiden Joko Widodo untuk lebih memberikan perhatian lebih terhadap isu hukum dan politik serta meningkatkan koordinasi dan harmonisasi di internal kabinetnya. Jadi sudah jelas Presiden Joko Widodo memiliki andil terhadap kontroversi UU MD3.

RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dalam rapat paripurna disampaikan kepada presiden untuk disahkan. Pengesahan dilakukan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak disetujui bersama. Apabila dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak kunjung menandatanganinya, maka tetap sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

UU MD3 sudah dipastikan tidak akan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Hal ini berarti UU MD3 tetap akan sah dan diundangkan setelah jangka waktu tiga puluh hari tersebut terlampaui. Jadi tindakan Presiden Joko Widodo tersebut tidak memiliki dampak sama sekali.

Untuk mengantisipasi potensi masalah yang akan timbul bagi masyarakat terkait beberapa pasal yang kontroversial dalam UU MD3, setidaknya ada cara yang dapat ditempuh. Caranya adalah dengan menggugat pasal yang dianggap merugikan ke MK sebagaimana diatur pada Pasal 9 UU P3. Di sinilah peran Presiden Joko Widodo menjadi vital. Ketika Presiden Joko Widodo menyatakan tidak akan menandatangani UU MD3, maka UU MD3 hanya dianggap sah secara materiil namun secara formil masih belum.

Suatu UU dapat ditindaklanjuti untuk diuji ke MK apabila sudah sah secara materiil maupun formil. Maka tindakan Presiden Joko Widodo tersebut justru hanya akan mengulur waktu bagi masyarakat untuk melakukan uji materi ke MK. Semakin lama Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU MD3, maka semakin lama juga masyarakat untuk dapat menggugat ke MK. Apalagi ini sudah jelas jika UU MD3 tidak akan ditandatangani.

Jadi kembali ke salah satu pertanyaan di atas, apakah tindakan Pak Joko Widodo (tidak menandatangani pengesahan UU MD3) adalah tindakan heroik? Tentu bisa disimpulkan sendiri.

Setidaknya ada cara yang dapat dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Cara tersebut adalah dengan membuat Perppu. Seperti diuraikan sebelumnya, Perppu memiliki hierarki yang setara dengan UU. Jadi Presiden Joko Widodo dapat membuat Perppu untuk membatalkan pasal-pasal dalam UU MD3 yang dianggap bermasalah maupun kontroversial. Tentu hal ini akan menjadi ujian bagi Presiden Joko Widodo sampai sejauh mana keberaniannya dalam mengatasi permasalahan yang ada di UU MD3, sebagaimana keberanian beliau pada 2017 yang membuat Perppu Ormas untuk memberantas ormas-ormas radikal.

Pada era Presiden sebelumnya, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah juga membuat Perppu ketika beliau tidak setuju dengan UU Pilkada. Oleh karena itu menarik untuk menunggu respons dari Presiden Joko Widodo mengenai pembentukan Perppu untuk mengantisipasi UU MD3.

Kontroversi yang terdapat pada UU MD3 memang bukan perkara yang mudah diselesaikan. Langkah Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani UU MD3 bukanlah langkah tepat dan heroik. Terkesan mencari aman agar tidak diprotes masyarakat. Namun, sebenarnya ada andil Presiden Joko Widodo dalam terciptanya permasalahan pada UU MD3.

Kejadian tersebut selayaknya dapat dijadikan pelajaran bagi Presiden Joko Widodo untuk lebih memberikan perhatian terhadap isu hukum serta menciptakan harmonisasi dan koordinasi dengan kabinetnya untuk pembahasan-pembahasan RUU selanjutnya. Begitu juga pembelajaran bagi DPR untuk lebih memperhatikan dan mempertimbangkan suara rakyat dalam upaya menyusun RUU, termasuk UU MD3 karena pada dasarnya DPR adalah wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga apa yang dilakukannya harus sesuai dengan suara rakyat.

Bhaktiarsa Bagus mahasiswa Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads