Dua polwan, Brigadir Popy Puspasari dan Bripda Fitria, diterjunkan untuk mengungkap praktik usaha haram ini. Kasus tersebut bermula saat polisi menerima laporan dari orang tua salah seorang korban.
"Kami mendapat perintah dari bapak Kapolres melalui Kasatreskrim. Kemudian kami ditugaskan untuk menyamar sebagai PSK," kata Brigadir Popy di Mapolres Garut, Jalan Sudirman, Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (20/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyamaran berlangsung sejak dari Garut. Popy dan Fitria awalnya bertemu dengan salah seorang muncikari. Lalu keduanya bersama muncikari itu terbang ke Bali.
"Awalnya masuk ke sana (vila di Bali) diwawancara dulu sama karyawan di sana," katanya.
Dalam proses wawancara, Popy dan Fitria diminta menjadi PSK. Sindikat perdagangan manusia ini 'menjual' korbannya di sebuah vila yang berada di kawasan Sanurkauh, Denpasar.
"Setelah diwawancara dan saya menyatakan siap, kemudian disuruh beristirahat di kamar (vila)," ujar Popy.
Popy dan Fitria mengaku tidak terlalu lama berada di kamar tersebut. Setelah situasi sangat aman, keduanya menghubungi Kasatreskrim Polres Garut AKP Aulia Djabar untuk segera menggerebek.
"Nyamar enggak lama, sekitar satu jam. Enggak sampai disuruh melayani tamu," ucap Popy.
Dia mengaku sempat khawatir menjalankan tugasnya ini. Namun ia mengaku selalu siap saat diperintah atasan.
"Sempat ada rasa khawatir. Tapi selalu siap, karena ini tugas," kata Poppy.
Polres Garut mengungkap praktik perdagangan manusia. Ada 20 orang wanita muda asal Garut dan beberapa kota di Jabar yang menjadi korban.
Ada delapan orang tersangka dengan masing-masing perannya yang diamankan. Mereka adalah IR (48), FP (23), AS (26), RI (23), AR (26), AN (23), ABD (21) dan CS (35).
Para tersangka mengiming-imingi calon korbannya dengan menjanjikan korban untuk bekerja sebagai pelayan kafe di Bandung. Namun korban kemudian diterbangkan ke Bali untuk dijadikan PSK.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat Undang-undang Perdagangan Manusia dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Polisi mengembangkan kasus tersebut bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpada Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Polres Garut membuka call center bagi para korban yang ingin melapor.
"Diduga korban masih ada. Bisnis ini berjalan empat tahun. Kita buka call center dan bekerja sama dengan P2TP2A," ujar Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna kepada wartawan di tempat yang sama. (bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini