Sejauh ini, ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjadi satu-satunya calon yang digadang-gadang menjadi pesaing kuat Jokowi. Prabowo dan Jokowi dianggap akan menjadi pacuan kuda dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun sayangnya, ketika kubu Jokowi sudah mendeklarasikan sebagai capres, kubu Prabowo masih adem ayem. Bahkan Prabowo secara simbolik mengatakan bahwa jika rakyat menghendaki, ia akan maju. Itu artinya, kubu Prabowo masih melihat kemungkinan-kemungkinan peta politik setidaknya beberapa bulan ke depan. Selain masih membaca peta politik, hajatan pilkada juga masih menjadi alasan utamanya.
Deklarasi terhadap Joko Widodo sebagai capres seolah menjadi antitesis PDIP dalam mengumumkan calon. Biasanya, PDIP mengumumkan calon pada detik-detik terakhir. Apalagi, pengumuman tersebut berlangsung tertutup. Ini menjadi pertanyaan penting bagi publik terkait pencalonan Jokowi. Dalam kaitan ini, bisa saja Jokowi sebagai bagian dari strategi politik PDIP untuk mendongkrak perolehan suara di Pilkada 2018. Seperti diketahui, PDIP juga mencalonkan banyak kader di berbagai daerah. PDIP berharap dengan percikan popularitas Jokowi mampu mendongkrak kemenangan PDIP di daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah moncernya elektabilitas Jokowi saat ini, memang tidak mudah untuk mencari figur yang mampu menandinginya. Apalagi, banyak partai yang rela mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019. Sebelum PDIP, sudah ada Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dengan modal seperti itu, tentu pendeklarasian partai mendukung Jokowi sebagai imbas dari posisi tawar Jokowi.
Namun logika penting yang harus dipahami, elektabilitas tidak menjadi jaminan petahana akan melenggang mulus dalam piplres 2019. Logika ini mudah dianalisis. Belajar dari pengalaman Jokowi sebelum mencalonkan menjadi capres 2014, popularitasnya kalah jauh dari Prabowo Subianto yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan menjadi capres. Bahkan kampanyenya sudah memenuhi ruang publik dan media. Prabowo dianggap tanpa hadangan menuju RI-1 waktu itu. Namun Jokowi mampu membalikkan anggapan tersebut. Setali tiga uang, kita masih ingat pilkada DKI 2017 silam di mana petahana kalah dari Anies Baswedan. Padahal sebelum mencalonkan, Anies kalah pamor oleh Ahok.
Dengan pengalaman seperti itulah, bukan tidak mungkin Jokowi bisa ditandingi oleh figur-figur alternatif. Maka, ada dua syarat jika ingin menandingi Jokowi. Pertama, tokoh tersebut harus lahir dari kalangan yang mewakili masyarakat sipil. Artinya, tokoh tersebut sudah dikenal oleh publik karena kinerjanya yang baik sebagai tokoh publik. Kehadiran tokoh dari masyarakat sipil penting untuk dilahirkan mengingat selama ini, calon yang kerap muncul berlatar belakang militer dan politisi yang memiliki masa lalu kurang baik. Kedua, tokoh tersebut tidak boleh menjadi antitesis Jokowi. Artinya, figur tersebut harus mampu mengimbangi Jokowi yang dianggap merakyat.
Ketiga, tokoh tersebut harus dekat dengan generasi muda (milenial). Syarat ini sangat penting mengingat pemilih yang tersedia merupakan generasi milenial dan melek digital. Apalagi, dukungan generasi milenial terhadap Jokowi dianggap lemah. Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik mungkin.
Aminuddin analis politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED), alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini