Menurutnya satu bulan masa kampanye yang sudah dilakukan paslon belum memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya pada 27 Juni nanti. Pola kampanye yang nyaris seragam, membuat masyarakat sulit mencari perbedaan antar paslon.
"Menurut saya itu momentum untuk memecah gunung es ya. Memutus spiral keheningan kampanye. Karena selain memberikan kesempatan kepada warga melihat langsung bagaimana mereka berkomunikasi, juga terpenting diferensiasi (perbedaan)," kata Karim saat dihubungi detikcom, Senin (12/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat bisa membedakan secara langsung antara satu (paslon) dan lainnya. Tetapi dengan syarat para kandidat berani melakukan oposisi verbal. Artinya menyatakan sikap berbeda bila mereka punya pendirian berbeda," ungkap dia.
Ia menuturkan untuk memperlihatkan perbedaan ini, tentu para paslon harus memiliki tiga modal penting. Antara lain keberanian untuk beradu argumen dengan paslon lain, kemudian memiliki kompetensi dalam menyampaikan dan mempertahankan argumen yang disampaikan.
"Jangan lupa juga, amunisi debat itu fakta. Jadi kalau jago argumen dan berani ngomong tapi enggak punya fakta, jadi mereka seperti pasukan perang berpeluru hampa," imbuh dia.
Diakuinya debat publik ini akan sia-sia bila para paslon memilih jalan aman. Artinya, sambung dia, para paslon tidak berani beradu argumen atau memberikan pandangan yang berbeda mengenai isu-isu strategis dalam debat publik.
"Tetapi debat akan gagal apabila mereka memilih jalan aman dalam pengertian daripada diserang lebih baik tidak menyerang duluan. Bila ini terjadi maka monolog saja meski ada empat pasang calon. Masing-masing akan bicara sendiri tidak bersinggungan dengan yang lain," kata Karim. (ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini