"Kita kumpulin styrofoam dari lingkung sekitar dan kota sebanyak-banyaknya kemudian kita hancurkan dan kita olah menjadi produk bata," kata Feri Fajar Hastanto, pemilik usaha pembuatan bata dari bahan styrofoam, kepada wartawan, Kamis (1/3/2018).
"Steorofoam itu termasuk dari turunan plastik yang paling sulit diurai secara alami, dan produksinya secara global terus meningkat, karena produknya terus berjalan, maka limbahnya akan terus tersedia dan itu masif sekali," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dia mengatakan jika selama ini masyarakat masih menganggap limbah styrofoam belum bisa dimanfaatkan untuk apapun. Sehingga limbah itu kemudian kebanyakan dibakar, dibuang di TPA atau bahkan dibuang di sungai.
"Tapi kemudian yang jadi masalah adalah lingkungan, misal saja box styrofoam kecil ukuran 20x20 cm itu menghambat saluran air, dengan tekanan air sekuat apapun tidak akan bisa menghancurkan styrofoamnya. Itu yang menyebabkan banjir. Kebanyakan sampai ke muara dia akan bertahan di situ dan bisa merusak ekosistem," jelasnya.
![]() |
Maka dari itu, untuk mengurangi semua potensi kerusakan lingkungan tersebut, dirinya mencoba membuat bata dari styrofoam yang dicampur menggunakan pasir dan semen dengan kompiosisi tertentu. Dia menyebut batu bata dengan campuran styrofoam lebih ringan sekitar 40-50 persen dari batu bata pada umumnya, dengan kekuatan yang sama seperti bata pada umumnya.
"Pembuatan bata dari styrofoam ini juga bisa mengurangi peggunaan pasir. Jadi bahan galian C yang selama ini yang gencar dilakukan pemerintah untuk tidak dimanfaatkan secara masif, bisa dikurangi pemanfaatannya karena ada bahan baru dari styrofoam sebagai peggntinya. Jadi bahan batanya lebih ringan dengan kekuatannya tidak berkurang dari bata pada umumnya," ucapnya.
![]() |
Sedangkan, ide awal pembuatan bata dari campuran styrofoam ini lanjut dia, diawali bagaimana cara membuat bangunan rumah lebih cepat. Di mana pembuatan rumah biasa dengan type 36 bisa dibanguan dalam waktu 3 bulan, bisa dipersingkat hanya menjadi 1 bulan dengan membuat bata interlock.
"Awalnya seperti itu, kita manfaatkan material yang gampang dipasang, enteng dan tidak memberatkan tukang serta mempunyai kekuatan yang sama dengan material yang lain. Untuk bata pada berat normal tanpa styrofoam bisa mencapai 30 kg per pices, tapi dengan styrofoam hanya 15 kg per pices," ujarnya.
![]() |
Sebelum menggunakan limbah styrofoam, dia mengaku pernah menjadi menggunakan kain perca dan serabut kelapa. Tapi yang lebih tepat dan jadi solusi lingkungan itu menggunakan styrofoam. Saat ini pemasaran dan cabang bata Interlock yang dibuatnya sudah ada di Purwokerto, Klaten, Malang dan Jawa Barat.
"Kita pasarkan di Jateng DIY dengan harga yang sama seperti bata pada umumnya, serta dengan kekuatan yang sama," tuturnya. (arb/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini