"Ada KTP di Kendari, ada juga KTP di Jakarta dan KTP jabatan saya karena belum ada e-KTP," ujar Nur Alam saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Nur Alam mengatakan saat itu KTP yang dimiliki masih berlaku, sehingga ia bisa tidak masalah mempunyai tiga KTP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada saat itu sangat dimungkinkan," ucap Nur Alam.
"Anda kepala daerah paham tentang kependudukan. Anda memungkinkan? aturan mana?" tanya jaksa kembali.
"KTP saya belum mati dan masih berlaku. KTP ada dua jenis soal jabatan dan pribadi saya," ucap Nur Alam.
Selain itu, jaksa juga mengkonfirmasi mengenai pembelian rumah yang dilakukan pegawai negeri sipil (PNS) di Setda Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Ridho Insana. Dalam dokumen pembelian rumah di kawasan Jakarta itu menggunakan KTP milik Nur Alam.
"Anda punya KTP yang beralamat di Jalan Asam Gede Kelurahan Matraman?" tanya jaksa KPK.
"Itu KTP lama Pak," ucap Nur Alam.
Usai bertanya soal pembelian rumah itu, jaksa menunjukan dokumen bersama Nur Alam dihadapan majelis hakim. Menurut Nur Alam, ia hanya membantu Ridho Insana yang tidak bisa menghadapi penjual rumah.
"Saya hanya membantu Ridho saat itu tidak sanggup menghadapi developer perumahan," jelas Nur Alam.
Dalam perkara ini, Nur Alam didakwa menerima gratifikasi USD 4.499.900 atau Rp 40.268.792.850 saat menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode. Gratifikasi yang diterima Nur Alam dari berbagai pihak.
Nur Alam menerima uang dari Richcorp International Ltd dengan tiga tahap pada bulan Oktober 2010. Awalnya Nur Alam menerima uang USD 499.965, USD 999.970 dan USD 999.965.
"Selanjutnya terdakwa (Nur Alam) membuat polis asuransi Mandiri Rencana Sejahtera dengan premi sebesar Rp 22 miliar yang berasal Richcorp International Ltd. Terdapat kelebihan Rp 2 miliar atas permintaan Nur Alam ditransfer rekeningnya," jelas jaksa saat membacakan dakwaan.
(fai/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini