Dilansir CNN, Senin (26/2/2018), kabar gejala keracunan gas klorin yang menghinggapi sejumlah orang itu diterima dari kelompok oposisi pada Minggu (25/2) waktu setempat.
Oposisi Suriah yang menjalankan Badan Kesehatan Pedesaan Damaskus (RDHD) mengatakan orang-orang yang mereka rawat mengaku telah terpapar gas klorin yang beracun. "Bau dari orang-orang di kawasan ini, bau sopir ambulans, dan bau para korban semua menunjukkan jelas bau gas klorin," kata RDHD mengatakan dalam sebuah pernyataan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
The White Helmets, kelompok relawan yang beroperasi di kawasan pemberontak, mengatakan lewat Twitter bahwa ada satu anak terbunuh akibat gas klorin di kota. CNN tak bisa secara independen melakukan verifikasi klaim The White Helmets itu, termasuk belum memastikan apakah gas klorin itu digunakan sebagai senjata saat serangan Minggu kemarin atau tidak.
Yang sudah-sudah, biasanya kedua belah pihak yang bertikai di pertempuran bakal saling menyalahkan soal penggunaan gas klorin. Pemerintah Suriah telah berulang kali menyatakan bahwa pihaknya tidak menggunakan klorin sebagai senjata untuk melawan warga sipil.
Menteri Luar Negeri Suriah Sergei Lavrov mengatakan pada reporter pada Minggu kemarin, dugaan soal serangan klorin adalah 'hoax' belaka. Kaum White Helmets selalu menggembar-gemborkan cerita-cerita palsu.
"Ada kemungkinan lebih banyak hoax, kami tahu dari mana mereka berasal, yakni dari media sosial dan khususnya media sosial tempat White Helmets disebut, organisasi yang jelas-jelas provokatif, dibikin oleh Amerika dan orang Inggris, selalu menampilkan banyak cerita palsu, kebanyakan dalam tentang penggunaan senjata kimia, namun tanpa bukti yang cukup," kata Lavrov saat jumpa pers.
Kementerian Pertahanan Rusia juga menduga bahwa para teroris yang bersembunyi di Ghouta Timur sebenarnya punya bahan kimia. Bahan itu diduga digunakan untuk kepentingan provokasi.
(dnu/nif)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini