"Ada kiai juga, bukan hanya gereja, tapi masjid juga. Penyebabnya tidak satu, ada ideologi yang diimpor ke sini (Indonesia), kemudian juga ketimpangan sosial kita masih begini, bertemulah keduanya, ideologi kekerasan dan ketimpangan sosial ekonomi yang masih parah," kata Buya kepada wartawan di kediamannya di Sleman, DIY, Senin (19/2/2018).
Sejumlah kasus kekerasan yang dimaksud Buya, di antaranya kasus penyerangan terhadap pimpinan Ponpes Muhammadiyah Karangasem Paciran, Lamongan, KH Hakam Mubarok, lalu penyerangan umat misa di Gereja Lidwina Sleman, penganiayaan yang menewaskan seorang ustadz Persatuan Islam (Persis) di Bandung dan penyerangan terhadap pengasuh Ponpes Al Hidayah di Cicalengka, Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin yang di gereja (Lidwina). Saya ketemu (Suliono, pelaku penyerangan) bicara agak lama di rumah sakit. Dia tidak antipolisi. Saya bingung ini faksi mana. Umumnya mereka (pelaku serangan) antipolisi," imbuhnya.
Sementara itu terkait aksi kekerasan dengan menunggangi isu SARA dan imbauan tidak ada lagi pemakaian isu SARA di tahun politik, Buya mengimbau kepada para politisi agar memperbaiki nalar berdemokrasi sehingga bisa naik kelas menjadi seorang negarawan.
Menurutnya, jika politisi menjadi negarawan, maka akan berpikir untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan kelompoknya.
"Kita masih berharap proses demokrasi jangan begini terus, proses kematangan demokrasi tujuannya untuk kesejahteraan rakyat semakin mendekat, sekarang kan belum," sebutnya.
Juga kepada para konglomerat, sambung Buya, dia mengingatkan ketimpangan ekonomi masih tajam sehingga masyarakat susah untuk menegakkan keamanan dan kenyamanan berbangsa.
"Jangan kita menyerah pada keadaan seperti ini, persoalan ndak ada habisnya, kekerasan masih ada. Nalar bangsa sudah rusak sejak lama, ini semakin parah," tandasnya. (mbr/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini