Hal itu disampaikan pakar hukum pidana UI, Eva Achjani Zulfa, dalam diskusi penyusunan RKHUP di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Puri Imperium Office Plaza, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/2018). Dia mengatakan sebaiknya jangan terburu-buru menyusun RKUHP karena ini demi kemaslahatan umat.
"Jadi pertanyaan berikutnya, apa sih sistem sanksi yang tengah dibangun teman-teman dalam perumusan RKHUP ini? Apa hanya terfokus sistem penjara saja?" ujar Eva.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: AJI: RKUHP Berpotensi Kriminalisasi Jurnalis |
Eva meminta perumus RKUHP harus memikirkan sanksi dalam bentuk baru. Dia menjelaskan sanksi baru ini juga harus menyelesaikan masalah kelebihan kapasitas (over capacity) di lapas.
"Tujuan pemidanaan kita sudah mengeluh penjara yang sudah crowded, apa nanti akan ada sanksi lainnya yang lebih efektif. Saya kira itu yang harus dipikirkan," ucapnya.
Di tempat yang sama, pakar kriminologi UI, Ni Made Martini Puteri, sependapat dengan Eva. Dia mengatakan sistem pemidanaan di RKUHP harus berdasarkan ahli hukum sehingga penjatuhan sanksi terhadap seseorang dinilai tepat.
"Contohnya pencurian di malam hari dihukum lebih berat dari siang hari karena ada niat manfaatkan situasi. Tapi apa betul kerugiannya lebih besar? Jadi harus mempertimbangkan konsep dan data statistik, harus betul saat kita menghukum kejahatan di siang hari daripada di malam hari," ujar Made.
Hukuman pidana juga harus memperhatikan reaksi perilaku masyarakat. Made menjelaskan, dengan adanya hal seperti itu, pemidanaan akan lebih efektif.
"Kita harus lihat, walaupun dihukum berat, akan ada respons dari masyarakat. Kita temukan dalam konteks sehari-hari. Dimensi yang perlu diperhatikan itu suatu perilaku jahat harus melihat reaksi masyarakat dari tindak kejahatan itu," ungkap Made. (rvk/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini