Hak Imunitas DPR Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi

Hak Imunitas DPR Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi

Yulida Medistiara - detikNews
Selasa, 13 Feb 2018 07:46 WIB
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hifdzil Alim menyoroti pasal kontroversial dalam UU MD3 yang disahkan DPR. Pasal kontroversial yang disahkan DPR dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Pasal yang dimaksud yakni pasal antikritik dan pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus seizin presiden. Menurut Hifdzil, penetapan pasal tersebut adalah sebuah kekeliruan.

"Kalau sampai pengkritik itu dalam menyampaikan pendapat yang berbeda kepada pemerintah dan DPR kemudian dia menyampaikan argumenya, oleh karena itu dianggap melecehkan DPR saya kira ini penentuan pasal yang sangat keliru. Ini sangat bertentangan dengan konstitusi karena kita memiliki hak untuk menyampaikan kritik kepada lembaga negara termasuk kepada DPR," kata Hifdzil, kepada detikcom, Selasa (13/2/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya Pasal 122 huruf k UU MD3 tersebut keliru karena kritik merupakan hak masyarakat kepada DPR dan pemerintah, bukan berarti melecehkan. Hak imunitas menurutnya bisa dipakai sepanjang tidak melakukan tindak pidana dan tidak melanggar etika.

"Ini bukan pilihan yang sangat bijak bagi DPR, setiap pengkritik DPR adalah perbuatan tercela yang melecehkan DPR, hak imunitas tidak dipakai untuk itu, hak imunitas dipakai oleh dewan, atau legislatif, legislator sepanjang dia menjalankan fungsinya sebagai legislatif artinya dalam hal dia tidak melakukan tindak pidana korupsi, pelecehan atau melanggar etika, maka hak imunitas tetap dijalankan. Namun ketika dia korupsi, atau melanggar etika, melakukan tindak pidana lainya hak imunitas tak bisa melekat pada dirinya," katanya.

Selain itu dia berpendapat soal Pasal 245 UU MD3 yang mengatur aparat penegak hukum harus izin ke presiden atas rekomendasi MKD jika memanggil anggota DPR. Menurutnya hal itu bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang pernah membatalkan hal tersebut.

"Kalau pasal itu putuskan di paripurna bahwa harus melalui MKD, itu bertentangan dengan MK, ini menjadi situasi yang sangat rumit dan tidak menyenangkan bagi penegakan hukum sebetulnya karena semua pihak akan berdiri pada posisinya masing-masing, DPR akan berdiri di putusan itu, penegak hukum berdiir di putusam MK. Menurut saya ini akan sangat rumit dan meragukan, baik kepada DPR atau penegak hukum," sambungnya.

Sementara terkait Pasal 73 UU MD3 yang mengatur polisi wajib membantu DPR memanggil individu atau lembaga, menurut Hifdzil aturan tersebut harus dicermati secara komprehensif. Polisi diminta untuk berlaku profesional dalam pemanggilan karena jika terkait ini dan jangan sampai dijadikan alat untuk kepentingan DPR.

"Polisi bisa membuat kebijakan bahwa dia menjalankan amanat UU untuk melindungi masyarakat, dia harus memberikan pengayoman masyarakat, dia harus memberikan perlindungan kepada masyarakat, dan polisi juga harus memberikan pendidikan kepada masyarakat, artinya kalau polisi digunakan untuk mendukung kerja DPR yang bertetangan dengan kepentimgam konstitusi dan bertentangan dengan rakyat. saya kira pasal itu ada gak masalah tapi penerapannya harus dilihat dengan komprehensif, tidak bisa dibaca dengan kacaamata kuda tapi harus dilihat dulu konteksnya, dan harus dilihat dulu situasinya, polisi pernah melakukan itu dan berhasil," sambungnya.

[Gambas:Video 20detik]

(yld/yld)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads