Intoleransi, Tak Ada Ruang (tapi) Terus Berulang

Intoleransi, Tak Ada Ruang (tapi) Terus Berulang

Erwin Dariyanto, Andhika Prasetia - detikNews
Senin, 12 Feb 2018 17:39 WIB
Gereja Santa Lidwina di Yogyakarta, Minggu (11/2/2018) diserang oleh Suliono, seorang pria asal Banyuwangi dengan bersenjata pedang. (Foto: Ristu Hanafi/detikcom)
Jakarta - Toleransi umat beragama di Indonesia tengah menghadapi ujian. Dalam dua bulan terakhir, terjadi rentetan penyerangan terhadap tokoh agama. Di Jawa Barat, dua ustaz tewas dibacok dan seorang biksu di Tangerang Selatan nyaris pergi dari rumah pribadinya karena dianggap kerap melakukan peribadatan di kediamannya itu. Ahad kemarin, giliran jemaat yang tengah beribadah di gereja Katolik di Yogyakarta yang diserang dengan senjata tajam.

Aksi-aksi intoleransi itu seolah mengkonfirmasi hasil survei The Wahid Foundation bertajuk 'Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia' yang diungkapkan ke publik, 29 Januari lalu. Pada laporan berjudul 'potensi intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai', terlihat mayoritas muslimin dan muslimah bersikap intoleran terhadap kelompok yang tak disukai (57,1 persen). Jumlah ini meningkat dibanding survei pada 2016 dengan angka intoleran sebesar 51,0 persen.

Mereka yang toleran terhadap kelompok yang tak disukai pada survei Oktober 2017 ini sebesar 0,8 persen, naik sedikit dari survei 2016 sebesar 0,7 persen. Sedangkan yang bersikap netral ada 42,1 persen, turun dari 2016, sebesar 48,3 persen.

"Yang menjadi tantangan bagi kita adalah bukan radikalisme, melainkan intoleransi. Intoleransi masih cukup tinggi. Intoleransi menjadi pintu gerbang radikalisme," kata Direktur Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid.

Baca juga: Survei: Potensi Intoleransi Muslim RI Meningkat, Projihad Keras 13%

Dari hasil riset selama kurun September-November 2017, Wahid Foundation menemukan ada beberapa hal yang memicu perilaku intoleran. Pertama, masih ada peraturan perundang-undangan yang dinilai turut mempengaruhi meningkatnya intoleransi, pelanggaran kebebasan beragama, dan dukungan atas aksi-aksi terorisme.

Dua peraturan itu misalnya PNPS 1965 tentang Penodaan Agama atau Peraturan Bersama Dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah.

"Dua aturan itu sering digunakan kelompok intoleran dan radikal dalam aksi-aksi penyesatan, penolakan pembangunan rumah ibadah, bahkan kekerasan terhadap minoritas," seperti dikutip dari laporan riset Wahid Foundation.

Karena itu, lembaga yang didirikan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid tersebut merekomendasikan agar pemerintah bersama DPR merevisi UU PNPS 1965 dan peraturan daerah yang membatasi hak-hak sipil dan perempuan pada khususnya.

Presiden Joko Widodo sendiri mengecam aksi-aksi kekerasan terhadap sejumlah pemuka agama tersebut. "Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara kita, Indonesia," ujarnya di Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Senin (12/2/2018).

Baca juga: Jokowi Minta Pelaku Kekerasan ke Pemuka Agama Ditindak Tegas

Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut dua hal yang berpotensi menyebabkan orang berperilaku tidak toleran atau intoleransi. Pertama, reaksi atas ketidakberdayaan dalam menghadapi ketidakadilan melalui jalur normal.

Menurut Lukman, orang sering kali tak percaya kepada aparat dan tidak sabar. Mereka kemudian mengambil jalan pintas dengan cara kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah.

Kedua adalah faktor wawasan dan pengetahuan yang sempit hingga berdampak pada klaim kebenaran. "Karena wawasan yang sempit, orang lalu menganggap dirinya paling benar, menyalahkan pihak lain dan mentolerir tindakan kekerasan. Di sini diperlukan penguatan pendidikan," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, pekan lalu.

Sejatinya, perilaku intoleransi ini terus berulang dengan sebaran daerah yang acak. Meski tak menyerang tokoh agama secara langsung, sepanjang Desember 2017 tercatat ada empat aksi intoleransi.

Pada awal Desember, misalnya, beredar surat berkop RW 006 yang melarang kegiatan ibadah Kristiani di Perumahan Bumi Anugerah Sejahtera, Desa Rajeg, Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten. Lalu, pada 6 Desember, Pembela Ahlus Sunnah di Bandung membubarkan acara kebaktian di kompleks Sasana Budaya Ganesha dengan alasan melanggar izin.

Sehari kemudian, Forum Umat Islam Yogyakarta meminta manajemen Universitas Kristen Duta Wacana menurunkan baliho penerimaan mahasiswa baru karena menampilkan sosok mahasiswi berjilbab. Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur, Brigade Meo Timor pada 10 Desember mengusir sembilan warga berbaju gamis yang akan mengikuti acara keagamaan di Atambua, Belu, diminta kembali ke Jawa. (erd/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads