Kepala BBWSCC Jarot Widyoko menjelaskan wilayah hulu Sungai Ciliwung dulu lebar dengan tepi berupa hutan dan daerah resapan yang luas. Kondisi ini membuat air hujan yang turun sebagian besar meresap ke tanah, bukan mengalir langsung ke sungai.
"Hujan yang turun sebagian besar meresap ke tanah, sehingga yang masuk ke sungai tidak banyak. Memerlukan waktu berbulan-bulan di dalam tanah. Sebelumnya, banjir sangat sedikit," kata Jarot di kantornya, Jl Inspeksi Saluran Tarum Barat, Jakarta Timur, Jumat (9/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Tapi area resapan terus beralih menjadi beton dan aspal karena pembangunan infrastruktur. Air yang seharusnya diserap lewat tanah malah langsung mengalir ke sungai.
"Sekarang adakah daerah Ciliwung yang tidak terjamah oleh kita? Semua mengindikasikan tanah semakin padat. Panjangnya 130 km, terjamah manusia, yang dibangun aspal, tembok. Padahal tidak pernah ada sungai tambah dalam, tambah lebar. Malah cenderung ditambah sedimen (endapan). Jadi jangan kaget kalau Ciliwung tidak bisa menampung," kata dia.
Masyarakat, menurut Jarot, juga cenderung menimbun tanah untuk menghindari genangan. Bahkan tidak jarang ada yang melapisinya dengan beton.
Untuk mengantisipasi terus berkurangnya area resapan, Jarot menyebut perlunya aturan baku soal kewajiban pemilik rumah menyediakan sumur resapan.
"Pemprov atau pemkot (yang mengatur). Bisa dari awal situ, untuk IMB bisa bikin sumur supaya air tidak masuk selokan. Bayangkan kalau di Bogor dan Depok melakukan itu, bisa mengurangi banjir dan ketersediaan air tanah cukup," kata dia.
Sumur resapan, disebut Jarot, menjadi bagian dari penanggulangan banjir secara nonstruktur. (nif/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini