"Kami memohon agar Pak Anies Baswedan menyetop upaya penggantian nama Jalan Mampang dan Buncit Raya--karena merupakan manifestasi dari nama-nama kampung Betawi--dengan nama Jenderal Besar AH Nasution," begitu bunyi petisi yang diterima detikcom, Rabu (31/01/2018).
Selama lebih dari seperempat abad terakhir, tertulis di alinea lain petisi tersebut, sudah begitu banyak nama kampung dan jalan yang mengacu pada memori kolektif masyarakat Betawi yang lenyap.
Misalnya di Pondok Gede, ada nama Kampung Dua Ratus karena luasnya 200 ha, tapi sekarang sudah hilang dan masuk Kelurahan Halim. Juga ada Kampung Pecandran dan Kampung Petunduan, yang bukan hanya namanya, tetapi kampungnya pun sudah hilang.
Pembangunan yang tanpa wawasan sejarah dan bernafsu itu, masih menurut petisi tersebut, tidak hanya menguasai wilayah secara fisik, tetapi juga ingin menghapus ingatan dan semua memori budaya yang pernah hidup di wilayah masyarakat pendukung kebudayaannya.
Gilas roda pembangunan tidak hanya telah membuat orang Betawi tergusur dari kampung kelahirannya. Hal yang paling mengenaskan, memori sejarah mereka yang hidup di dalam nama-nama jalan dan kampung pun dihilangkan.
Toponimi di belahan dunia mana pun selalu berkaitan dengan asal-usul dan sejarah tempat tersebut. Banyak nama situs, kawasan, monumen, dalam kajian arkeologi yang sebenarnya menyimpan informasi lebih dari sekadar kandungan benda arkeologis yang berada di tempat tersebut. Ada alasan dan latar belakang tertentu kenapa suatu nama dijadikan nama kampung atau lokasi tertentu. Maka, nama-nama kampung yang berbau lokal ini sangat penting sebagai bagian dari sejarah penduduk Jakarta.
"Karena itu, kami sangat menyesalkan kebijakan aparat Pemprov DKI Jakarta, yang seharusnya ikut mendukung kebudayaan Betawi, tapi justru telah menjadi bagian dari upaya mengganti nama jalan yang merupakan identifikasi dari nama kampung seperti yang terlihat saat ini pada Jalan Mampang dan Warung Buncit Raya."
Dari 15 nama yang disebut mendukung petisi tersebut, antara lain tercantum JJ Rizal (sejarawan dan penerima Anugerah Budaya Gubernur DKI Jakarta 2009), H. Tatang Hidayat, SH (Ketua Komite Seni Budaya Nusantara DKI Jakarta), dan Yahya A. Saputra (Seniman Betawi dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta). (jat/jat)