"Terkait argumentasi surat bupati ini dapat dibuat karena adanya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka perlu kiranya dimengerti bahwa tidak ada satu pun yang menyebutkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait pengaturan penerbangan," kata ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono saat dihubungi detikcom, Rabu (31/1/2018).
Kewenangan khusus yang dimiliki Aceh diatur dalam Pasal 17 UU Pemerintahan Aceh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk hubungan pemerintah pusat dan daerah, haruslah diletakkan dalam bingkai negara hukum dan prinsip saling menghormati kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Prinsip saling menghormati ini penting mengingat hukum telah meletakkan secara proporsional masing-masing urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
"Untuk itu sudah seharusnya pemerintah kabupaten/kota dalam membuat kebijakan, keputusan atau tindakan senantiasa memperhatikan prinsip pembagian urusan pemerintahan tersebut, sehingga dapat mengetahui urusan pemerintahan apa saja yang menjadi kewenangannya dan bukan kewenangannya," papar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Oleh sebab itu, SK Bupati Mawardi jangan diperdebatkan substansinya semata. Tetapi apakah bupati berwenang untuk membuat surat yang mengatur maskapai penerbangan. Sebab kewenangan pejabat pemerintahan sudah diatur ketat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Untuk menilainya, perlu dilihat UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam Pasal 5 UU Penerbangan jelas disebutkan yang berdaualat penuh atas wilayah udara adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termanifestasikan pada pemerintah pusat," cetus Bayu.
Dengan demikian, kata Bayu, kedaulatan wilayah udara NKRI tidak dibagi-bagi ke provinsi apalagi kabupaten/kota.
"Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika semua Bupati/Wali Kota yang di wilayahnya terdapat bandar udara kemudian berpikiran berdaulat atas wilayah udaranya dan kemudian merasa memiliki wewenang mengatur maskapai penerbangan yang menuju wilayahnya maka niscaya akan ada beragam aturan yang diterbitkan oleh bupati/wali kota mengingat beragamnya suku, agama, ras dan budaya di Indonesia," kata Bayu menegaskan.
Langkah menjaga agar kedaulatan negara atas wilayah udara tidak terpecah, Pasal 10 dengan sangat baik meletakkan kewenangan pembinaan penerbangan yang meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan berada di tangan pemerintah pusat.
"Dengan kewenangan yang dimilikinya maka pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan lah yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan," papar Bayu.
Dalam rangka mewujudkan tertib penyelenggaraan pemerintahan, maka Menteri Dalam Negeri bersama dengan Menteri Perhubungan seharusnya segera mengingatkan Bupati Aceh Besar agar bersikap bijaksana.
"Jika kejadian semacam ini tidak cepat direspon oleh pemerintah pusat maka dikhawatirkan menjadi semacam contoh bagi pemerintah kabupaten/kota lainnya di seluruh Indonesia bahwa atas dasar otonomi daerah mereka dapat membuat kebijakan mengatur masalah penerbangan meskipun jelas-jelas hal tersebut bukan kewenangannya," pungkas Bayu. (asp/ear)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini