Aksi dalam rangka peringatan hari Primata Nasional ini diwarnai dengan teatrikal pantomim. Seorang pria dengan wajah didempul putih melilitkan kain putih ke lehernya. Kain itu menggambarkan rantai yang digunakan saat pertunjukan doger monyet.
Sambil jongkok, pria itu memperlihatkan ekspresi sedih. Lalu ia memeragakan diri sebagai monyet yang kebingungan. Hal itu menggambarkan kondisi monyet yang sedang melakukan aksi menghibur masyarakat saat pertunjukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Kordinator aksi Sarah Syajaratun mengatakan pelaku pertunjukan topeng monyet dianggap telah melakukan eksploitasi berlebihan. Pasalnya, sambung dia, tak jarang mereka menyakiti satwa tersebut untuk kepentingan sendiri.
"Biasanya pemburu menangkap bayi monyet. Dalam prosesnya, induk monyet itu biasanya mati. Lalu, monyet itu dilatih dengan dicabut giginya dengan paksa, agar tidak menggigit," katanya saat ditemui disela aksi.
Jenis monyet yang digunakan dalam petujunjukan topeng monyet merupakan ekor panjang (Macaca Fascicularis). Jenis itu sangat rentan untuk menularkan penyakit zoonosis kepada manusia.
"Penyakit itu antara lain rabies atau tuberkulosis," tutur perempuan yang menjabat sebagai Tim edukasi dan sosialisasi dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) tersebut.
Di tempat yang sama, anggota JAAN Jenipa Saptayanti mengatakan pihaknya sudah merehabilitasi 46 monyet ekor panjang selama tiga tahun terakhir."Paling banyak ada di daerah pinggiran, seperti Tasikmalaya, Ciamis," tutur dia.
Sejauh ini, monyet yang sudah diamankan direhabilitasi di daerah Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Selama masa rehabilitasi, banyak perilaku yang menyimpang dari para monyet.
"Mereka (monyet) juga mengalami depresi dan trauma. Ada yang suka melukai diri sendiri, ada yang teriak enggak jelas sambil lari-lari," pungkas Jenipa. (ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini