Rilis hasil penelitian Maarif Institute berjudul 'Penguatan Kebijakan Ekstrakurikuler dalam Meredam Radikalisme di Sekolah'. Penelitian dilakukan di 6 kabupaten/kota di 5 provinsi di Indonesia, yaitu Padang (Sumbar), Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Sukabumi (Jabar), Surakarta (Jateng), Denpasar (Bali), dan Tomohon (Sulut). Pengambilan data dilakukan pada Oktober hingga Desember 2017.
Ada 40 sekolah yang menjadi sampel dengan jumlah narasumber kurang lebih 450 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen, wawancara semi terstruktur, observasi lapangan, dan Focus Group Discussion.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga lihat radikalisme itu masuk ke sekolah lewat proses KBM. Faktor utamanya adalah karena guru," kata Darraz di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Jumat (26/1/2018).
"Kami coba tracking ke siswa. Apa yang diajarkan? Pernahkah mereka mengajarkan sesuatu di luar mata pelajaran? Ternyata guru-guru ini meskipun ngajar apa, tapi mereka terafiliasi dengan kelompok pengajian radikal tertentu di luar sekolah, akhirnya menyisipkan pandangan radikal saat di sekolah," sambung Darraz.
Maarif Institute mendorong agar ada kebijakan sekolah untuk melibatkan pihak moderat untuk menangkal radikalisme. Hal ini bertujuan agar siswa memiliki referensi dalam membangun rasa toleransi dan kebhinekaan.
"Jadi kami mendorong adanya kebijakan yang menyuburkan rasa kebhinekaan dan demokratis di sekolah. Lalu adanya aktor-aktor moderat yang belum banyak mungkin untuk mengcounter radikalisme. Kita libatkan kelompok sipil moderat turut mengcounter radikalisme," ucapnya.
"Seharusnya siswa jadi punya referensi lain dalam bagaimana membangun kebhinekaan dan lain lain," sebut Darraz. (tor/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini