Rumah bercat hitam itu berdiri kokoh di Kompleks Museum Aceh. Atapnya, terbuat dari daun rumbia. Sejumlah tiang menopang keberadaan rumah. Tangga untuk masuk ke dalam ditaruh di bawah bagian depan. Lukisan bermotif khas Aceh menambah keelokan rumah adat masyarakat Tanah Rencong tersebut.
Proses pembuatan rumah berbentuk panggung ini seluruhnya menggunakan kayu. Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumah Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Kayu yang dipakai pun jenis terbaik sehingga rumah Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tarmizi, kontruksi rumah Aceh saling kait-mengait. Tiang rumah biasa terbuat dari kayu kokoh, sementara lantai serta tiang-tiang rumah Aceh juga dari kayu.
Untuk mempererat kayu-kayu itu, nenek moyang orang Aceh tidak menggunakan paku, besi atau pun beton. Tapi kayu lubangi, dipahat dan kemudian diberi pengait.
Teknik saling kait-mengait ini punya tujuan tersendiri. Salah satunya untuk meredam getaran. Dengan menggunakan kontruksi seperti ini, rumah Aceh tahan terhadap goyangan dan tidak mudah roboh akibat gempa.
"Bukan orang Aceh tidak mampu buat rumah beton dahulu. Tapi karena Aceh dikepung oleh bencana gempa (makanya rumah kayu)," jelas pria yang akrab disapa Cek Midi ini.
Untuk membuktikan rumah Aceh tahan terhadap gempa, pernah dilakukan uji secara laboratorium melalui miniatur kecil dan perhitungan program SAP 2000. Widosari dalam jurnal ilmiahnya "Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami" pernah mengulas soal ketangguhan rumah Aceh.
Berdasarkan uji coba tersebut, diperoleh hasilnya yaitu rumah Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini terletak pada hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid).
"Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang kemudian kembali tegak atau pun bangunan terlikuifaksi (terangkat ke atas) yang kemudian mampu jatuh kembali ke tempat semula," tulis Widosari dalam jurnal yang dipublikasi Local Wisdom.
![]() |
Menurutnya, saat gempa bangunan jika bergeser pun hanya beberapa sentimeter saja dan dalam keadaan utuh. Sebuah pondasi batu utuh yang hanya ditanam sedikit lima sentimeter juga memperlentur pergerakan keseluruhan bangunan sesuai dengan pergerakan tanah.
"Demikianlah, tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan bangunan meliputi pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban bangunan terbesar, kemudian tiang dan balok antar tiang (komponen badan) sebagai penyalur beban dari atas dan dari samping, serta rangka atap (komponen kepala) sebagai penyangga beban elemen paling atas bangunan dan dari samping atas," ulasnya.
Sementara itu, Hairumini dalam jurnal "Kearifan Lokal Rumah Tradisional Aceh sebagai Warisan Budaya untuk Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami" menjelaskan tentang rumah Aceh yang aman terhadap bencana. Dalam penelitiannya, dia menyimpulkan bahwa tiang-tiang rumah Aceh yang sifatnya terbuka memiliki peran penting dalam mitigasi bencana banjir dan tsunami.
"Hal ini dikarenakan air dapat lolos tanpa ada penghalang dengan demikian rumoh Aceh selamat dari ancaman bencana. Beberapa lokasi pasca bencana gempa dan tsunami juga telah memperlihatkan kekokohan bangunan rumah tradisional Aceh yang selamat dari ancaman bencana tersebut," tulisnya dalam jurnal yang dipublikasi UNNES pada tahun 2017.
Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan rumah Aceh kokoh dan aman terhadap bencana. Pertama tiang, ornamen/ukiran dan atap. Saat tsunami melanda Tanah Rencong, air bah tersebut dapat lolos pada bangunan tradisional Aceh melalui kolong rumah yakni tempat tiang berdiri, badan rumah yakni melalui ukiran ornamen rumah dan bagian atas rumah yakni atap rumah yang menghadap ke laut.
Sementara untuk tali ijuk dan pasak juga punya peranan penting. Setiap bagian-bagian pembentuk rumah tradisional Aceh dihubungkan dengan sambungan menerus serta diperkuat dengan tali ijuk dan pasak tanpa paku.
"(Hal ini) Membuat rumah lentur (fleksibel dan tidak kaku ) sehingga mampu mengikuti arah gerakan gempa. Masing-masing bagian saling mendukung untuk mempertahankan konstruksinya terhadap goncangan gempa," tulis Hairumini.
Mesti ramah terhadap bencana, namun rumah adat Aceh kini sudah tidak dipakai lagi oleh masyarakat Tanah Rencong. Warga sudah beralih ke rumah beton atau berbahan dasar semen. Salah satu penyebabnya, kayu dengan kualitas super sudah sulit ditemukan.
"Sekarang sudah tidak ada lagi kayu yang kokoh. Rumah Aceh dulu itu tangganya di depan atau di samping. Kalau Rumah Aceh di Museum asli juga tapi tangganya sudah dimodifikasi di bawah atau di dalam," ungkap Tarmizi. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini