Menurut Erwiza Erman dalam buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, koran Jawa Shinbun menyebutkan becak masuk ke Jakarta dari Makasar sekitar tahun 1930-an. Sedangkan catatan lain menyebutkan masuknya becak ke Jakarta sejak 1914, sepekan setelah Singapura mengenal transportasi ini.
Orang Cina dari suku Hok Cia menguasai beberapa operasional becak, sebagian menjadi tauke (pemilik) dan sebagian sebagai penarik becak. Salah satu tauke adalah bekas montir sepeda bernama Oey Seng Bouw, mantan montir sepeda di daerah Palmerah dan kemudian pindah ke daerah Tangki.
Orang Jawa dan Sunda kemudian ikut menjadi penarik becak. Mereka biasanya tak membawa keluarga dari kampung asalnya, dan tinggal di kontrakan orang-orang Cina seperti Leng Kie, Leng Tong, dan Swie Kim. Persaingan penumpang belum terjadi karena belum banyak becak.
Becak mengalami perkembangan pesat ketika memasuki zaman penjajahan Jepang. Pada masa Hindia Belanda hanya ada sekitar 100 becak di Jakarta dan meningkat menjadi 3.900-an unit pada 1943. Peningkatan ini dipengaruhi oleh buruknya kondisi di masa itu.
Tingkat kejahatan seperti perampokan dan pencurian-pun marak. Penataan di masa penjajahan Jepang sempat semrawut hingga pemerintah menjadikan becak sebagai transportasi pemerintah dengan nama Djakarta Ryo Kyoku. Becak-pun harus didaftarkan, diberi nomor, dan dikenai pajak. Pendaftaran hanya sampai 300 unit saja. Hingga pada 1945 jumlah becak hanya mencapai 400-an dan melejit menjadi 9.000 unit pada 1948.
Penarik becak-pun mulai berorganisasi di bawah naungan Betjak Bond Djakarta. Pemerintah menganggap penarik becak setara dengan sopir, petani, dan pedagang. Jumlah ini terus meningkat setelah revolusi bersenjata selesai pada 1949.
Data tahun 1958 menyebutkan jumlah becak mencapai 60.000, 50.000 diantaranya didatangkan dari luar Jakarta. Tetapi kondisi semrawut terus terjadi, penodongan dan perampokan-pun marak terjadi. Pada 1955, penarik becak ikut meramaikan pemilu. PNI, PKI, dan partai lainnya selalu menggelar pawai becak dalam kampanye.
Erwiza Ernan juga menuliskan para tauke becak menjadi sasaran kejahatan. Permasalahannya adalah kurangnya setoran karena pendapatan kecil. Persaingan penarik becak mulai tidak sehat.
"Ketika saya menyetor uang yang tidak cukup, Rp 5,-, saya dimarahi. Saya ingin membalas dendam. Akhirnya saya ngrampok. Sasaran kejahatan saya ya orang-orang Cina. Baru pada 1967 saya insyaf," kata Said, bekas penarik becak asal Bogor.
Pada 1960-an Gubernur DKI Jakarta Soemarmo Sosroatmodjo memperketat peraturan becak. Operasional becak dibatasi di beberapa jalan tertentu. Pengetatan operasional becak terus dilanjutkan pada masa Orde Baru. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin-pun membuat aturan becak tidak boleh diproduksi di Jakarta.
Pelarangan juga dilakukan pada 1972 dengan menyebutkan becak sebagai transportasi tak layak. Pada 1990 pembersihan becak baru dilakukan, jalanan Jakarta benar-benar harus bersih dari becak.
Operasional becak sempat dilakukan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada 1999 namun segera dicabut dan membuat penarik becak berdemonstrasi di Balaikota DKI Jakarta. Becak-pun kemudian mati hingga kini. Wacana yang digulirkan Gubernur DKI Jakarta untuk menghidupkan kembali operasional becak menuai pro-kontra karena kondisi lalu lintas yang kian kompleks di Jakarta. (ayo/jat)