"Kami jelaskan sekali lagi, Partai Demokrat tidak ada mahar, baik untuk gubernur, bupati, maupun wali kota. Kami tidak ada mahar untuk parpol," kata Agus di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Dalam pilkada, mahar politik merupakan setoran duit demi mendapatkan rekomendasi partai. Tindakan ini merupakan praktik ilegal. Hal ini tercantum dalam Pasal 187B UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 7 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Agus menuturkan pengeluaran dari kocek pribadi calon kepala daerah saat kampanye di luar urusan parpol. Biaya itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya para calon kepala daerah.
"Kalau untuk kampanye kan itu urusan mereka. Jadi untuk kampanye dari kantong dia yang mengeluarkan dia, untuk dia. Tapi kalau untuk parpol tidak ada mahar sama sekali," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, La Nyalla mengaku dimintai uang miliaran rupiah untuk Pilgub Jatim oleh Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Namun La Nyalla tak merinci uang saksi ini untuk pesta demokrasi yang mana.
"Ada saat tanggal 9 itu yang ditanyakan uang saksi. Kalau siapkan uang saksi, saya direkom tapi kalau uang saksi dari 68.000 TPS dikali Rp 200.000 per orang dikali 2 berarti Rp 400.000. Itu sekitar Rp 28 miliar. Tapi yang diminta itu Rp 48 miliar dan harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Nggak sanggup saya, ini namanya saya beli rekom, saya nggak mau," ujar La Nyalla, Kamis (11/1). (dkp/dkp)











































