Pertama-tama,Trump mengancam akan menghentikan bantuan untuk Pakistan.
Alasannya, Pakistan justru memberikan perlindungan kepada orang-orang yang diduga sebagai teroris di Afghanistan. Padahal Amerika Serikat telah memberikan bantuan hampir Rp 450 triliun kepada Pakistan.
Namun, kata Trump, Pakistan tidak memberikan imbalan apa pun, "kecuali kebohongan dan penipuan, berpikir para pemimpin kita bodoh".
Kedua, Presiden Donald Trump mengancam akan menghentikan bantuan untuk Palestina.
Ia beralasan Palestina "tidak bersedia merundingkan perdamaian" setelah ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel padahal status kota itu masih dalam sengketa.

Seorang pengunjuk rasa menunjukkan karikatur "Yerusalem ibu kota Palestina" dalam protes di Amman, Yordania pada tanggal 29 Desember 2017. Pengakuan Trump bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu protes di banyak negara. (Reuters)
Dan yang ketiga, Donald Trump menyatakan tombol nuklir yang dimilikinya lebih besar dibandingkan tombol nuklir pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un.
Reaksi: 'Presiden seorang anak-anak, malapraktik kepresidenan'
Meskipun bukan kali ini saja Presiden Trump membuat pernyataan kontroversial, komentarnya kali ini sontak mendapat kecaman di dalam negeri, apalagi di luar negeri.
"Ini mirip dengan malapraktik kepresidenan," kata Senator Demokrat Ed Markey, sebagaimana dikutip oleh kantor berita AFP.

Polisi Pakistan mengamankan lokasi serangan bom di Quetta, Provinsi Balochistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Trump menuduh Pakistan melindungi orang-orang yang menyerang pasukan AS di Afghanistan. (JAMAL TARAQAI/EPA)
"Presiden kita adalah seorang anak-anak. 'Kepunyaan saya saya lebih besar dibanding kepunyaan Anda mungkin saja terdengar jagoan di taman bermain, tetapi ini bukan masalah anak-anak. Sesungguhnya terdapat jutaan nyawa yang dipertaruhkan," kata Colin Kahl, mantan penasihat keamanan nasional untuk mantan Wakil Presiden Joe Biden.
- Trump kepada Kim Jong-un: Tombol nuklir saya lebih besar dan lebih kuat
- Trump ancam hentikan bantuan ke Palestina
- AS umumkan menahan bantuan keuangan untuk Pakistan
Eliot Cohen, mantan penasihat untuk mantan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice dari Partai Republik, menuturkan komentar Trump "diutarakan seperti anak 10 tahun yang pemarah".
Namun Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley menegaskan negaranya dan negara-negara lain perlu terus memberi tekanan kepada Korea Utara agar Korut membatalkan program nuklirnya.
Di luar perang kata-kata antara Presiden Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, muncul perkembangan positif di Semenanjung Korea sendiri ketika Korea Utara membuka kembali saluran telepon hotline ke Korea Selatan.
Batas pernyataan diplomatis
Komentar-komentar terbaru Presiden Trump yang dikeluarkan melalui Twitter ini kembali memunculkan pertanyaan mengenai gaya bahasa seperti apa yang seharusnya diutarakan oleh seorang negarawan layaknya Presiden Trump.
"Saya pikir presiden menganggap hal ini sebagai unjuk kekuatan," kata Jim Himes, anggota Kongres dari Connecticut kepada CNN.
Ditambahkannya pernyataan Trump mencerminkan impuls "untuk menunjukkan bahwa ia lebih besar dibandingkan siapa pun".

Kim Jong-un sebelumnya menyebut Trump sebagai 'manula pikun' dan presiden AS itu memanggil pemimpin Korea Utara sebagai 'manusia roket dalam misi bunuh diri'. (Reuters)
Seorang pengamat di Illinois, Profesor Patricia Henry menilai pernyataan-pernyataan Presiden Trump layaknya bukan berasal dari seorang negarawan.
"Rasanya itu keterlaluan dan saya kira banyak juga yang merasa begitu. Kita perlu diplomasi, bukan agresi. Tapi apa boleh buat, itu sudah gaya orangnya," kata Profesor Patricia dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Ia menandaskan tidak ada gunanya terlalu memikirkan pernyataan-pernyataan Trump.
"Menurut saya, memang ini sesuatu yang mungkin omong kosong tapi berbahaya juga dan mengkhawatirkan. Tapi belum tahu apa akibatnya nanti."
Yang jelas, lanjutnya, para diplomat dan duta besar AS memikul beban berat di bawah pemerintahan Presiden Trump dengan retorika-retorikanya yang panas.
"Ia rupanya tidak tahu menjadi presiden atau menjadi pemimpin dunia," papar Profesor Patricia.
Ditambahkannya, banyak pemilih di AS mungkin kecewa telah memberikan suara untuk Trump dalam pemilihan presiden lalu.
Namun ada pula pendukung-pendukungnya yang berpendapat sudah seharusnya presiden Amerika menunjukkan kekuatan.