Di bawah mediasi Mesir, faksi-faksi Palestina -- Hamas dan Fatah -- mencapai kesepakatan rekonsiliasi usai pertikaian tahun 2007 saat Hamas menguasai Gaza dalam pertikaian dengan Fatah. Disepakati batas waktu 1 Desember lalu, agar kekuasaan Gaza diserahkan kepada Otoritas Palestina yang dikuasai Fatah. Namun batas waktu itu tertunda hingga 10 Desember mendatang, karena perbedaan pendapat.
Pengumuman Trump yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu (6/12) waktu setempat, memicu kemarahan Palestina. Yerusalem Timur sejak lama dipandang sebagai ibu kota negara Palestina di masa mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dilansir Reuters, Kamis (7/12/2017), karena khawatir dampak pengakuan Trump itu akan mengganggu upaya rekonsiliasi, Otoritas Palestina berniat mempercepat proses penyerahan kekuasaan atas Gaza. Percepatan dilakukan usai mengalami penundaan.
Pada Kamis (7/12) waktu setempat, Perdana Menteri Palestina Rami Al-Hamdallah bersama sejumlah delegasi Fatah lainnya datang mengunjungi Gaza untuk bertemu Hamas.
"Babak bersejarah ini memerlukan kita semua bersatu dan mempercepat langkah-langkah penyatuan tanah air," ucap Al-Hamdallah kepada wartawan setempat.
Usai Hamas menyerukan intifada atau perlawanan, puluhan warga Palestina berkumpul di dua titik di dekat pagar perbatasan Gaza dengan Israel. Mereka disebut melemparkan batu ke arah tentara Israel yang menjaga perbatasan. Satu warga Palestina dilaporkan luka-luka. Aksi protes juga muncul di dalam wilayah Gaza, dengan ribuan warga Palestina membakar bendera AS dan Israel. Mereka meneriakkan slogan anti-AS seperti: "Matilah Amerika! Matilah Si Bodoh Trump!"
Presiden Abbas dalam komentarnya menegaskan Yerusalem adalah ibu kota abadi Palestina. "Langkah-langkah yang menyedihkan dan tidak dapat diterima ini dengan sengaja melemahkan semua upaya perdamaian," kata Abbas dalam kecamannya untuk keputusan Trump.
(nvc/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini