"Sudah gelap di sana. Kami hanya melihat matahari sebentar saja. Karena hujan abu sudah tiap hari. Dua hari ini sudah tertutup abu," kata warga Banjar Prangsari Kelod, Desa Prangsari, Kecamatan Selat Karangasem, Ketut Surata (35) kepada detikcom, Selasa (28/11/2017).
Foto: ardian |
Tak hanya abu, kata Ketut Surata, aliran air seperti lahar dingin sudah keluar dan menggenangi jalan desanya. Genangan itu berwarna abu-abu seperti semen bercampur air.
Untuk itu, pihaknya dirinya memboyong keluarganya untuk mengungsi. Tempat pengungsian yang dipilih Ketut adalah lokasi pengungsian yang sempat di datangnya ketika instruksi pertama mengungsi pada 22 September lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Foto: ardian |
Hal yang sama diungkapkan oleh Wayan sudirta (63) warga Banjar Prangsari Tengah, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem. Karena hujan abu, bersama dengan 6 keluarganya terpaksa mengungsi.
Wayan bercerita sudah dua kali ini mengungsi. Pada waktu itu erupsi Gunung Agung pada tahun 1963 dirinya juga mengungsi di lokasi ini.
"Tanda meletus tahun 63 lalu hampir sama seperti ini. Hujan abu dulu kemudian ada hujan kerikil panas dan lahar muncul. Dulu saat itu usia saya 9 tahun," ujar Wayan saat berbincang dengan detikcom di Balai Banjar Yeh Malet, Desa Antiga Kelod.
Menurut Wayan, di Desa Duda Utara terdapat beberapa Banjar yang berdekatan dengan Gunung Agung. Daerah tersebut merupakan zona merah dari erupsi gunung yang tertinggi di Pulau Bali ini. Antara lain Banjar Prangsari Tengah, Prangsari Kelod serta Prangsari Kaja yang berjarak sekitar 5 kilometer. Sementara yang berada di 2 kilometer dari Gunung Agung, ada Banjar Sugra, Banjar Sebudi dan Persana.
"Semuanya sudah kena abu. Mereka mengungsi berpencar di lokasi berbeda," tambahnya.
(asp/asp)












































Foto: ardian
Foto: ardian