Inkonsistensi Ketua MA Oemar dan Wirjono di Mata Mahfud MD

Inkonsistensi Ketua MA Oemar dan Wirjono di Mata Mahfud MD

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 14 Nov 2017 12:11 WIB
Gedung MA di Jalan Medan Merdeka Utara (ari/detikcom)
Jember - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta para ahli hukum tetap konsisten saat menjadi praktisi hukum, seperti di lingkungan eksekutif dan yudikatif. Ia mencontohkan kasus Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji dan Wirjono Prodjodikoro.

"Pada 1966, Kongres Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), melakukan Musyawah Wilayah Jateng yang memutuskan untuk membangun independensi hakim, maka semua hakim dikeluarkan dari lembaga eksekutif dan disatuatapkan di bawah MA," kata Mahfud MD.

Hal itu disampaikan saat menutup Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, dan Pusako Universitas Andalas di Jember tanggal 10-13 November 2017.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usulan Ikahi itu dikenal dengan rekomendasi Semarang, dan disahkan secara nasional oleh Munas Ikahi yang ditandatangani oleh Oemar Seno Adji. Rekomendasi ini lalu diusulkan ke pemerintah.

Setahun setelahnya, Oemar Seno Adji diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Tapi siapa nyana, Oemar malah mengesampingkan hasil munas Ikahi yang ditandatanganinya.
Inkonsistensi Ketua MA Oemar dan Wirjono di Mata Mahfud MD

"Yang mengagetkan, Oemar Seno Adji langsung menolak. Usulan yang dia tandatangani sendiri," ujar Mahfud MD.

Setelah itu, Soeharto mengangkat Oemar Seno Adji menjadi Ketua MA kurun 1974-1982. Menurut Mahfud MD, penolakan itu karena masuknya unsur kepentingan Soeharto yang menginginkan stabilitas politik sehingga hakim harus di bawah pemerintah.

Inkonsistensi juga dilakukan oleh Ketua MA Wirjono Prodjodikoro. Saat itu, Wirjono dipanggil Presiden Soekarno yang ingin membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keppres Nomor 4 Tahun 1960. Dalam Keppres itu, pimpinan parpol yang terlibat pemberontakan maka partainya harus dibubarkan dan membubarkan.

Namun apa daya, secara struktural M Nasir sudah tidak masuk Masyumi. Begitu juga Soemitro Joyohadikusumo, sudah tak lagi masuk struktural partai.

Akhirnya Presiden Soekarno meminta Fatwa MA menafsirkan kata 'pimpinan' dalam Keppres 4/1960 agar kedua partai itu bisa dibubarkan. Hasilnya, Wirjono mengeluarkan surat yang menafsirkan pimpinan parpol adalah yang dimaksud pimpinan adalah 'bukan orang yang menduduki jabatan tetapi orang yang mempunyai pengaruh terhadap parpol itu'.

"Itulah yang diumumkan Wirjono sebagai Ketua Mahkamah Agung," cerita Mahfud.

Dengan modal pendapat MA itu, akhirnya Masyumi dan PSI bubar.

Setelah Soekarno lengser, tiba-tiba saja Wirjono berbalik arah.

"Wirjono berbalik arah bahwa pembubaran Masyumi dan PSI inkonstitusional," tutur Mahfud yang disambut gelak tawa peserta kongres.

Menanggapi inkonsistensinya, Wirjono menanggapi dengan enteng.

"Ya kan dulu saya dalam tekanan politik," kata Mahfud MD menceritakan alasan Wirjono.

Oleh sebab itu, Mahfud MD meminta para dosen dan pengajar hukum tata negara untuk pandai-pandai melihat situasi hukum. Sebab, hukum tidak selamanya ada dalam ruang hampa.

"Hukum sering berubah oleh persoalan politik," ujar guru besar sejumlah kampus itu. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads