"PT Semen Indonesia itu sebaiknya sowan ke ke Gus Yahya. Untuk memberikan penjelasan dan informasi soal perkara tersebut," kata pakar hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Mahfudz Ali, Kamis (9/11/2017).
Menurutnya hal itu perlu dilakukan untuk memberikan informasi kepada KH Yahya Staquf sekaligus untuk menghormatinya. Dengan sowan kepada KH Yahya Staquf, setidaknya ada dua sumber informasi terkait perkara yang menimpa Ketua Syuriyah MWC NU Pageruyung itu.
Mahfudz menambahkan, dirinya pernah menjadi saksi dalam sidang perkara itu dan sudah mengenal Nur Aziz serta berbincang agar mengurungkan niat menolak tukar guling tanah tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Mahfudz memang ada salah paham dalam kasus tersebut. Warga di sekitar lahan merasa memiliki karena sudah menggarap puluhan tahun. Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi dari PT Sumurpitu Wringinsari kepada PT Semen Indonesia tanggal 14 Maret 2013 lalu. Ada sengketa keperdataan karena adanya gugatan di Peradilan Umum, namun keputusan kasasi menguatkan kepemilikan atau penguasaan tanah sengketa dari PT Sumurpitu Wringinsari.
"Ada salah paham. Sebenarnya Perhutani juga memberi kesempatan warga untuk menggarap lahan," ujar mantan Wakil Wali Kota Semarang itu.
Untuk diketahui, pada 13 Mei 2014 terbit Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia tentang pelepasan hutan produksi tetap bagian hutan Sulang Timur, Kabupaten Rembang untuk lokasi plant site PT Semen Indonesia seluas 56,85 hektar.
Sebelumnya juga sudah terbit surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia terkait penunjukan lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Semen Indonesia yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal seluas 125,53 hektar.
Januari 2015, Nur Aziz dan kawan-kawan menggalang petani untuk menolak tukar guling lahan tersebut. Penolakan itu berbuntut panjang. Pihak yang tidak terima melaporkan Nur Aziz ke polisi. Sejurus kemudian, Polres Kendal memproses kasus itu dan Nur Aziz dan kawan-kawan dibawa ke pengadilan.
Dalam proses hukumnya, ada 3 orang yang akhirnya dibawa ke meja hijau sebagai terdakwa yaitu Nur Aziz, Sutrisno, dan Mujiono. Mereka menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kendal dan dijerat Pasal 94 ayat 1 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Vonis dijatuhkan tanggal 18 Januari 2017 dan berlanjut ke pengajuan kasasi hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi dari jaksa sehingga diputuskan para terdakwa dihukum 8 tahun penjara.
KH Yahya Staquf, hari Minggu (5/11) lalu menjenguk Nur Aziz dan menyatakan akan melaporkan perkara tersebut ke PBNU agar terpidana yang merupakan warga NU bisa teradvokasi. Ia juga akan mengumpulkan informasi soal perkara itu untuk upaya gugatan.
"Saya akan terus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai hal ini, dan apabila ada bukti tindakan ilegal oleh pihak tertentu, saya akan menjajaki kemungkinan gugatan clash-action terhadap pihak-pihak terkait," kata Yahya Staquf hari Minggu lalu. (alg/alg)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini