Pendirian MK itu sebagai tafsir atas UUD 1945, khususnya Pasal 29. "Bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara," demikian pertimbangan MK yang dikutip detikcom dari putusan MK, Rabu (8/11/2017).
![]() |
Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, negara hadir justru untuk melindungi hak-hak tersebut. Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak
asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.
"Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah (natural rights)," ujar 9 hakim konstitusi dengan suara bulat.
![]() |
Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekadar sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam hukum dasar. Oleh karena itu mengikat seluruh
cabang kekuasaan negara dan warga negara, sebab hal itu dituangkan secara normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Apabila norma-norma hukum dasar (konstitusi) di atas dihubungkan secara sistematis, terdapat dua poin penting yang dapat dipahami. Pertama, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan bagian dari Bab XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, sedangkan Pasal 29 merupakan isi dari Bab XI terkait
dengan Agama.
![]() |
Dalam pertimbangannya, MK membongkar perdebatan penyusunan Pasal 29 UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI/PPKI. Dari perdebatan para faounding fathers itu, maka tercermin jiwa bangsa yaitu tidak ingin menegasikan 'kepercayaan', tetapi memberikan tempat yang sejajar dengan agama.
Seperti yang disampaikan Wongsonagoro di mana mengusulkan agar Pasal 29 ayat (2) ditambah dengan kata-kata 'dan kepercayaan'.
"Dari proses perumusan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, frasa 'kepercayaan' memang tidak dimaksud sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Pencantuman kata 'kepercayaan' tersebut untuk tujuan agar pemeluk agama selain Islam tetap dijamin haknya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya. Artinya, terhadap warga negara yang tidak beragama Islam, kepercayaannya tetap dilindungi sesuai dengan ketentuan tersebut," cetus MK.
Atas dasar pertimbangan hukum itu, maka sudah sewajarnya UU Administrasi Kependudukan melaksanakan amanat UUD 1945 di atas.
![]() |
"Oleh karena hak beragama dan menganut kepercayaan merupakan salah satu hak asasi manusia maka sebagai negara hukum yang mempersyaratkan salah satunya adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, sehingga membawa konsekuensi adanya tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa hak asasi warganya benar-benar ternikmati dalam praktik atau kenyataan sehari-hari. Apalagi tatkala hak asasi tersebut tegas dicantumkan dalam Konstitusi, sehingga menjadi bagian dari hak konstitusional, maka tanggung jawab negara untuk menjamin penikmatan hak itu jadi makin kuat karena telah menjadi kewajiban konstitusional negara untuk memenuhinya sebagai konsekuensi dari pengakuan akan kedudukan Konstitusi (in casu UUD 1945) sebagai hukum tertinggi (supreme law)," pungkas MK.
Halaman 2 dari 3