"Kan (KPK) sama-sama penyidik, tahu kesulitan-kesulitan teknis dalam mengungkap suatu perkara minimnya saksi," kata Martinus di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (2/11/2017).
Martinus menerangkan, dalam kasus Novel, keterangan para saksi belum dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk menjerat seseorang sebagai tersangka kasus penyiram air keras terhadap Novel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Martinus menjelaskan penyidik Polda Metro Jaya, yang menangani kasus Novel, membutuhkan keakuratan alat bukti sebelum memproses pidana seseorang karena penyidik tak ingin nantinya terjadi salah tangkap.
"Jangan sampai kita melakukan upaya paksa menangkap seseorang yang ternyata bukan. Padahal kita sudah (pernah salah tangkap orang) itu, 1Γ24 jam (diperiksa), kemudian kita dialami. Ternyata nggak (terlibat), kita keluarkan," terang Martinus.
Terkait sketsa wajah terduga pelaku yang pernah dibuat penyidik Polda Metro Jaya bersama Kepolisian Australia, Martinus mengatakan hasil sketsa wajah tak detail.
"Yang dari Australia itu kan nggak bisa, tidak bisa untuk secara detail menjelaskan wajahnya itu seperti apa," ucap Martinus.
Novel mengalami teror penyiraman air keras pada 11 April 2017. Saat itu, Novel baru saja selesai menunaikan ibadah salat subuh di masjid di dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Dari belakang Novel, muncul 2 orang mengendarai sepeda motor matic menyiramkan air keras ke arah muka Novel dari gelas melamin. Novel pun mengalami luka di kedua mata sehingga harus dirawat di Singapura hingga saat ini.
(aud/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini