"Komunitas Ahmadiyah korban diskriminasi dalam beragam wujudnya. Itu terjadi antara lain karena pemberlakuan UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965," kata Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2017) pukul 11.58 WIB.
Jayadi yang menjadi ahli pemohon juga mengungkapkan jika pembuatan UU tersebut tadinya memang untuk pencegahan. Tetapi saat ini justru penerapannya menjadi multitafsir yang menyebabkan kemungkinan orang jadi represif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Jayadi, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat juga merasa ada kata yang tidak jelas dalam UU PNPS itu. Ia menganggap kata 'di muka umum' dalam pasal 1 UU PNPS memberi peluang intervensi.
"Kandungan kata yang tidak jelas yakni 'di muka umum' memberikan peluang beaar aparat dan masyarakat melakukan intervensi forum interum. Sebagai kata turunan yang tidak jelas, pemerintah memiliki wewenang melarang agama menyimpang," ujarnya.
Imadadun berharap jika ada penjelasan lebih rinci terhadap kata 'di muka umum' dalam pasal tersebut.
"Saya mengharapkan majelis berkenan memberikan batasan yang ketat tentang usulan 'di muka umum' yaitu tidak memaksukan aktivitas forum eksterum privat di dalam pengertian 'di muka umum' yang dilarang," tutur Imadadun. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini