Kepada mereka, sang imam besar berpesan untuk tetap istiqomah melanjutkan jihad membela Islam, termasuk membersihkan negara dari PKI. Karena, sebagaimana potongan lirik lagu ciptaannya, kami mujahid siap hidup pahit, kami pejuang siap tuk diserang, kami pejuang untuk perang, kami pejuang siap tuk menang. Tetapi, apakah dengan kesiapan hidup pahit, diserang, diperangi, komandan terbesar FPI ini, komando tertinggi para mujahid ini, siap untuk pulang dan menghadapi 'peperangannya' sendiri?
Rizieq Shihab pergi ke Tanah Suci untuk berumrah bersama keluarga pada akhir April, beberapa waktu setelah kasus chat mesum yang melibatkan dirinya dan Firza Husein merebak. Terlepas dari apakah kasus tersebut benar ataukah tidak, fakta yang tidak bisa dibantah adalah imam besar kita ini belum mau pulang. Sehabis umrah ia menyambangi Malaysia untuk menyelesaikan studinya, lalu kembali ke Arab Saudi, hingga lewat masa berhaji. Menurut kuasa hukumnya, Rizieq Shihab hanya mau pulang jika kasusnya dihentikan. Kenapa harus dihentikan? Karena ia merasa difitnah; merasa hukum Indonesia sedang menzalimi dan menghancurkan wibawanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka terjebak di luar, dicabut paspornya, kadang mesti mengembara dari satu negara ke negara lain demi menyelamatkan diri. Identitas mereka dicerabut. Mereka secara politik dan psikologis dibuang. Tapi ini bukan satu-satunya persoalan. Bagaimana nasib keluarga dan kerabat di Tanah Air? Diinterogasi? Diciduk sampai tak kedengaran lagi kabarnya? Dibunuh? Kengerian itu menambah jarak yang terbentang, yang tidak lagi hanya masalah jarak geografis dan soal punya atau tidaknya uang. Indonesia, Tanah Air Beta, ada di sana, sepenuhnya bisa mereka lihat tapi tidak bisa lagi mereka peluki. Entah sampai kapan. Tidak terbayangkan betapa frutrasinya akibat tekanan dan ketidakpastian tersebut.
Di sisi lain, Rizieq Shihab ke Arab Saudi karena 'keinginan' sendiri. Ia punya kesempatan untuk pulang kapan pun ia mau; bertemu keluarga serta para kader dan simpatisannya. Memimpin lagi massa. Berorasi dengan gayanya yang khas itu. Ganjalannya hanya satu: proses hukum kasus yang menimpanya. Tetapi ia memutuskan belum mau pulang. Bagaimana ya jadinya jika Rizieq Shihab, tiba-tiba, menjadi eksil politik? Misalnya, tiba-tiba saja status kewarganegaraannya dicabut. Paspornya dicabut. Sebagaimana para eksil politik 1965, Rizieq Shihab ada di luar negeri juga tidak dalam kesadaran bahwa dirinya tidak bisa pulang. Sama seperti para eksil politik masa itu, dia pergi untuk (nanti) kembali lagi.
Bagaimana ya kiranya ia akan menyiasati rasa kangennya kepada keluarga, kepada FPI, kepada situasi di mana namanya dielu-elukan di antara riuh takbir? Bagaimana kiranya ia akan menyelesaikan rasa rindunya pada udara tropis Indonesia, pada makanannya yang khas? Apakah ia akan secara rutin ke KBRI dan KJRI ketika ada acara dan hajatan tertentu demi memenuhi kangen merasai diri sebagai Indonesiaβsebagaimana kami, para mahasiswa kere di luar negeri, biasa melakukannya? Tapi bagaimana kalau KBRI dan KJRI menolak karena ia kadung jadi stateless citizen dan/atau apalagi 'musuh negara'?
Tapi kan ia bisa mampir ke para TKI/TKW yang bekerja di sana. Iya juga. Tetapi, bagaimana kalau orang-orang ini kemudian takut dianggap bersekongkol dengan musuh negara dan akan terimbas hukuman? Apakah dia akan, sebagaimana para eksil politik 65, mengembara dari satu negara ke negara yang lain, ataukah akan nyaman di Arab Saudi? Lalu, bagaimana ia akan menindaklanjuti pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari?
Taruhlah ia punya kas cukup banyak sehingga bisa menjamin masa tinggalnya di luar negeri hingga hari ini. Bagaimana jika kas tersebut berada di bank dalam negeri Indonesia dan rekeningnya kemudian dibredel? Atau, jika ternyata sumber keuangan itu berasal dari satu-dua orang di Indonesia, bagaimana jika orang-orang ini tidak bisa mentransfer lagi? Apakah dia akan membuka restauran sebagaimana para eksil politik 65 di Prancis? Atau, apakah ia akan melapor kepada PBB (yang beberapa kali dicibirnya itu) untuk meminta pertolongan dan keadilan? Tetapi, sampai kapan?
Apalagi, misalkan, jika situasi tersebut diperparah dengan kesimpangsiuran nasib orang-orang yang disayanginya: keluarga, kolega, dan para sahabat. Bagaimana Rizieq Shihab akan mensiasati rantai yang menjeratnya? Apakah ia akan tetap mengaum dan menyanyikan dengan lantang mars yang ia ciptakan? Kami mujahid siap hidup pahit, kami pejuang siap tuk diserang, kami pejuang untuk perang, kami pejuang siap tuk menang. Apakah demikian? Tetapi kita tahu bahwa pengandaian ini boleh jadi terlalu jauh. Sang Habib akan aman dengan paspornya. Dia dapat kembali pulang, tentu saja, jika dia mau, kapan saja.
Irfan L. Sarhindi intelektual muslim
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini