"Ini kawah, kalau kita lihat dari atas itu di tengah ada retakan. Tidak jauh dari situ sudah mulai terbakar, tepatnya di bagian atasnya," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil di Pos Pengamatan Gunung Agung, Rendang, Karangasem, Bali, Minggu (1/10/2017).
Devy menyatakan terbakarnya kawah itu karena ada gas yang keluar membentuk steaming jet yang telah terjadi sejak sepekan lalu. Namun PVMBG tengah menantikan gambar terbaru dari satelit untuk mempelajari jumlah gas yang keluar dari rekahan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain mempelajari tekanan gas yang ada di dalam perut Gunung Agung, para peneliti PVMBG juga tengah mencari tahu kandungan dan konsentrasinya. Namun untuk mengetahui hal itu, sebuah alat khusus digunakan untuk mengukur panjang gelombang volume konsentrasi gas digunakan tapi terkendala cuaca berawan.
"Nah, kita tidak berani ukur ke sana (kawah), kita hanya bisa menembak dari jauh tapi belum berhasil karena berawan gunungnya. Alat itu bisa menangkap volume konsentrasi gas dengan memanfaatkan sinar ultraviolet. Kita karakterisasi perubahan panjang gelombangnya dari sensor," ucap Devy.
Oleh karena itu, Devy menyatakan, tim PVMBG tengah mencari waktu tepat untuk menggunakan alat tersebut. Sehingga kandungan sulfur dari gas dapat diperkirakan sehingga bisa diketahui konsentrasi gas di dalam gunung berapi yang sudah berstatus awas selama 9 hari itu.
"Permasalahannya dengan peralatan geo-kimia ini, dia butuh langit yang cerah. Itu untuk kita mengukur kandunga gas," ungkap Devy.
Rekahan sepanjang 80 meter tersebut ditemukan melalui foto satelit tertanggal 27 September 2017. Selain rekahan, hotspot seluas 120 meter persegi juga tampak di dalam foto dan menjadi ventilasi keluarnya asap putih. (vid/fay)