Cerita Presiden Sukarno Pesan Majalah Playboy Kepada Dubes AS

Cerita Presiden Sukarno Pesan Majalah Playboy Kepada Dubes AS

Sudrajat - detikNews
Jumat, 29 Sep 2017 08:06 WIB
Dokumen: penasoekarno
Jakarta - Marshall Green dan istrinya, Lisa tiba di Jakarta pada 13 Juli 1965. Selang dua pekan kemudian dia sudah dapat berjumpa Presiden Sukarno. Pada 26 Juli 1965, ia menyerahkan surat kepercayaan sebagai duta besar Amerika Serikat (AS), menggantikan pendahulunya, Howard John.

Praktis Green cuma menunggu lima hari sejak permohonan untuk menyerahkan surat diajukan hingga diterima sang Pemimpin Besar Revolusi. Padahal sejumlah duta besar dari negara lain biasanya harus menunggu sampai berminggu-minggu untuk bisa diterima Sukarno.

Usai menyerahkan surat, Green menyampaikan pidato. Datar dan normatif. Maklum, hubungan AS dan Indonesia saat itu sedang kurang harmonis sejak akhir 1950-an. Pemicunya antara lain konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, ancaman nasionalisasi perusahaan AS di Indonesia, serangan ke kantor perwakilan AS di Indonesia, juga dugaan keterlibatan AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Sebagai tuan rumah, Sukarno membalas pidato Green yang datar itu dengan sejumlah kalimat provokatif. Ia menyerang kebijakan luar negeri AS. Meski hatinya panas, diplomat senior itu mencoba keras untuk menahan diri. Padahal secara tata krama diplomatik dia dibenarkan untuk segera meninggalkan ruangan.

"Saya tidak punya pilihan kecuali tetap di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata," tulis Green dalam memoarnya bertajuk 'Dari Sukarno ke Soeharto: G30S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar'.

Roso Daras, penulis buku 'Total Bung Karno: Serpihan Sejarah Yang Tercecer' dalam salah satu artikelnya menjuluki Marshall Green sebagai 'Diplomat Spesialis Kudeta'. Hal ini didasari oleh rekam jejak Green selama bertugas di sejumlah negara. Saat ditempatkan di Teheran, Iran pada 1956, Green dianggap turut menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Musadegh yang menasionalisasi perusahaan minyak Abadan. Green juga pernah bertugas di Korea Selatan, dan berhasil ikut menggulingkan Presiden Syngman Rhee yang tak disukai Amerika.

Saat momen ramah tamah, Green punya kesempatan untuk 'membalas' Sukarno. Hal itu dilakukan saat 'sang Presiden' memperkenalkan dirinya kepada Nyonya Supeni, petinggi di Departemen Luar Negeri, yang berkebaya hijau dan selendang keemasan.

"Nyonya Supeni, senang sekali saya berkenalan dengan Anda. Tahukah Anda? Dengan kebaya hijau dan selendang keemasan, Anda membuat saya terpaku saat Presiden berpidato tadi. Saya tak menangkap semua kata-kata yang diucapkannya. Bisakah Anda menceritakan kepada saya apa yang diucapkannya?"

Sontak suasana menjadi hening dan tegang. Semua seperti menahan nafas dan menutup mulut, menanti reaksi Sukarno. Rupanya si Bung menangkap balasan cerdas tamunya. Dia menepuk paha dan tawanya meledak. Suasana mencair. Hadirin lega.

Pada 31 Agustus 1965, Green mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Sukarno secara empat mata dalam suasana hangat. Toh begitu, Sukarno tetap menunjukkan ketidaksenangannya kepada politik luar negeri AS. Di ujung pertemuan, Green mendapat kejutan dari sang Presiden.

Dengan berbisik Sukarno meminta dibawakan majalah Playboy dengan alasan menyukai ulasan tentang film dan teaternya. Beberapa waktu kemudian, Lisa yang sedang berada di Washington DC mengirim majalah itu dalam kantung diplomatik. Tapi Green tak serta-merta mengirimkannya kepada Sukarno.

Setelah ditimang-timang, nalurinya insyaf bahwa ada unsur jebakan di balik permintaan Sukarno tersebut. "Saya segera sadar bahwa ini mungkin sebuah jebakan. Pasti Sukarno punya cara yang lebih mudah untuk mendapatkan majalah itu."

Dalam bayangan Green, Sukarno bakal mengolok-oloknya di muka umum. "Jawablah Duta Besar Green, ya atau tidak. Benarkah Tuan telah mengirimi saya, Bung Karno, yang murni dan polos, majalah-majalah Playboy yang kotor?"

Akhirnya Green memutuskan untuk menyimpan saja majalah pesanan Sukarno tersebut.
Enam bulan kemudian, ketika kedutaan AS dalam ancaman kepungan massa anti-Amerika Serikat, "majalah ini justru paling tahan api di antara semua berkas saya yang dibakar," kata Green dalam memoar terbitan Grafiti, 1995 itu.

[Gambas:Video 20detik] (jat/jat)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads