Seperti dilansir CNN, Selasa (19/9/2017), Amnesty International menuding Suu Kyi dan pemerintahannya mengabaikan situasi kekerasan yang marak terjadi di Rakhine. Bahkan Komisioner Tinggi HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein, telah menyebut situasi di Rakhine mengarah pada 'pembersihan etnis'.
"Aung San Suu Kyi hari ini menunjukkan bahwa dirinya dan pemerintahannya masih menguburkan kepala mereka dalam tanah atas kengerian yang terungkap di wilayah Rakhine," sebut Direktur Amnesty International untuk Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, James Gomez. Menguburkan kepala dalam tanah merupakan ungkapan kiasan yang berarti mengabaikan sesuatu yang berbahaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koresponden CNN, Ivan Watson, yang pernah mengunjungi langsung Rakhine dan mendatangi kamp pengungsian Rohingya, menyebut salah satu klaim Suu Kyi dalam pidatonya 'sungguh tidak benar'. Klaim yang dimaksud adalah pernyataan Suu Kyi soal 'semua orang yang tinggal di Rakhine memiliki akses ke pendidikan dan layanan kesehatan tanpa diskriminasi'.
Fakta bahwa Suu Kyi menyampaikan pidatonya dalam Bahasa Inggris, memberikan kesan bahwa Suu Kyi lebih mengarahkan pidatonya untuk komunitas internasional, bukan rakyatnya. Pidato ini disampaikan setelah Suu Kyi memutuskan tidak hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS).
Profesor hukum di Queen Mary University of London, Penny Green, yang khusus mempelajari isu Rohingya, menyoroti Suu Kyi yang mengaitkan Rohingya dengan kelompok militan Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA) dalam pidatonya. Suu Kyi sama sekali tidak menggunakan istilah Rohingya untuk menyebut etnis minoritas muslim yang tertindas di Rakhine.
"Dia (Suu Kyi-red) memilih untuk menggunakan kata itu terkait dengan sebuah kelompok teroris, yang berarti itu menjadi satu-satunya identitas yang menempel pada Rohingya dari perspektifnya dan yang dia harapkan dari perspektif internasional," tutur Green.
Lebih lanjut, Green menyebut pidato Suu Kyi yang disiarkan langsung oleh televisi lokal Myanmar itu sebagai pidato yang 'tidak tulus' dan 'penuh dengan penyangkalan'. Green menyebut pidato seperti itu menjadi 'perilaku khas penjahat negara'.
Hal lain yang dianggap Green semakin 'tidak masuk akal' adalah pernyataan Suu Kyi yang mengindikasikan krisis Rohingya semakin mereda. Suu Kyi dalam pidatonya bahkan menyebut lebih dari 50 persen desa-desa muslim di Rakhine masih utuh dan mayoritas warga muslim tidak mengungsi.
Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) Divisi Asia, Phil Robertson, seperti dilansir Reuters, menanggapi pernyataan Suu Kyi soal tidak adanya operasi militer di Rakhine sejak 5 September.
"Jika memang itu benar, maka siapa yang membakar semua desa-desa yang kami lihat dalam dua pekan terakhir?" ucapnya. HRW telah menunjukkan bukti citra satelit yang menunjukkan ratusan desa-desa muslim yang ditinggali warga Rohingya di Rakhine hangus dibakar sejak akhir Agustus.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini