Seperti dilansir AFP, Selasa (19/9/2017), reaksi keras ini disampaikan Kementerian Luar Negeri Korut saat Sidang Majelis Umum PBB yang dihadiri pemimpin-pemimpin dunia, tengah digelar di New York, Amerika Serikat (AS). Isu Korut mendominasi pembahasan dalam forum internasional itu.
Pekan lalu, Dewan Keamanan PBB memberlakukan serangkaian sanksi baru untuk Korut. Sanksi baru PBB itu mengatur tentang penerapan larangan ekspor tekstil Korut, pembekuan izin kerja untuk pekerja Korut dan pembatasan impor minyak mentah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Luar Negeri Korut dalam pernyataannya seperti dikutip kantor berita resmi Korean Central News Agency (KCNA), menyebut pembatasan ekonomi terhadap negaranya sebagai bentuk kekejian untuk 'memusnahkan' rakyat Korut.
Para pejabat AS memperkirakan sanksi-sanksi ekonomi itu akan 'memutus' pemasukan Korut hingga US$ 2 miliar (Rp 26,1 triliun).
"Peningkatan langkah-langkah AS dan pasukan pengikutnya untuk memberlakukan sanksi dan tekanan terhadap DPRK hanya akan mempercepat langkah kami menuju penyempurnaan besar kekuatan nuklir nasional," tegas Kementerian Luar Negeri Korut. DPRK merupakan singkatan nama resmi Korut, yakni Republik Demokratik Rakyat Korea.
Efektif atau tidaknya sanksi untuk Korut bergantung sepenuhnya pada China, yang merupakan satu-satunya sekutu dan mitra ekonomi utama Korut. Sanksi disinyalir akan berjalan efektif jika China bersedia menerapkannya secara penuh terhadap Korut.
Korut juga menanggapi aksi AS yang menerbangkan empat jet tempur siluman F-35B dan dua pesawat pengebom B-1B di atas Semenanjung Korea pada Senin (18/9) waktu setempat. Aksi itu dimaksudkan sebagai pamer kekuatan juga untuk 'latihan simulasi pengeboman'.
"Situasi ini mendesak DPRK untuk mempercepat penguatan pertahanan perang," demikian bunyi artikel surat kabar Korut, Rodong Sinmun, seperti dikutip KCNA. Korut merujuk pada pertahanan dengan kekuatan nuklir miliknya.
(nvc/ita)