"Itu sah-sah saja, asal (penelitian) itu obyektif ya, berdasarkan fakta yang benar," kata Syafii saat ditemui detikcom di Masjid Nogotirto, Kecamatan Gamping, Sleman, Selasa (19/9/2017) siang.
Syafii mengakui belum mengetahui secara detail rencana penelitian tersebut. Tetapi menurutnya memang masa bersiap atau masa revolusi sudah lama menjadi polemik, karena Belanda baru mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, atau setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila penilitian tersebut terlaksana dan menghasilkan produk sejarah, kata Syafii, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi para penerus bangsa. Justru nantinya sejarah masa revolusi versi Belanda dengan versi Indonesia bisa dibandingkan dan diperdebatkan.
"Tidak apa-apa, mempengaruhi (anak-anak muda) tidak apa-apa, kita perdebatankan saja. Kita bandingkan, tidak ada masalah. Dulu kan kolonial ini (Belanda) penjajah. Nah sekarang Belanda masih memiliki mental kolonial atau tidak, kita lihat saja nanti," katanya.
Dia menambahkan dalam sejarah tersebut Belanda punya sudut pandang tersendiri. Demikian pula dengan Indonesia juga punya sudut pandang sendiri.
"Bebas to, Belanda punya sudut pandang (sejarah versi) Belanda (sendiri). Pasti sejarah tidak bisa obyektif 100 persen, tidak bisa, karena punya sudut pandang masing-masing. Tetapi subyektifisme itu harus didukung oleh data yang kuat, oleh fakta yang kuat," katanya.
Saat ditanya apakah perlu Pemerintah Indonesia melakukan penilitian tandingan, Syafii dengan tegas mengatakan tidak perlu. "Biarkan saja mereka," pungkasnya.
Perlu diketahui, Belanda serius meneliti periode bersiap, periode revolusi 1945-1949. Penelitian bertajuk 'Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950' ini, Belanda mengucurkan dana 4,1 juta Euro atau sekitar Rp 64,8 miliar. (bgs/bgs)