Kini Kena OTT KPK, Walkot Tegal Dulu Pernah Pidanakan Aktivis

Kini Kena OTT KPK, Walkot Tegal Dulu Pernah Pidanakan Aktivis

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 30 Agu 2017 10:46 WIB
Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno (dok tegalkota.go.id)
Jakarta - Wali Kota Tegal Siti Masitha terjaring OTT KPK terkait suap proyek alat kesehatan. Bunda Sitha, demikian ia akrab dipanggil, ternyata pernah mempidanakan dua aktivis antikorupsi dan kebijakan, yaitu Agus Slamet (39) dari LSM Humanis dan Udin (41) dari LSM Amuk.

Agus dan Udin secara kritis mengkritik kebijakan Bunda Sitha pada 2014. Lewat media sosial, ia memberi berbagai masukan agar Tegal menjadi kota yang maju.

Tapi kritik itu ditanggapi sebaliknya dengan melaporkan keduanya ke aparat kepolisian. Anehnya, yang melaporkan bukan Bunda Sitha, melainkan seorang pengusaha, Amir Mirza Hutagalung.
Kini Kena OTT KPK, Walkot Tegal Dulu Pernah Pidanakan Aktivis

Atas hal itu, Agus dan Udin diproses dan akhirnya duduk di kursi pesakitan. Pada 23 April 2015, Agus dan Udin akhirnya dihukum 5 bulan penjara oleh PN Tegal. Duduk sebagai ketua majelis, Ratriningtias Ariani, dengan anggota, Enan Sugiarto dan Guntoro Eka Sekti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atas vonis itu, Agus dan Udin tidak terima dan mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta laporan Amir seharusnya tidak diproses karena bukan korban langsung. Gayung bersambut. Permohonan Agus-Udin dikabulkan MK.

Menurut MK, tidak relevan lagi membedakan pengaturan kepada anggota masyarakat dengan penghinaan kepada pejabat negara atau pegawai negeri. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 yang memposisikan manusia sederajat dan berkeadilan.

"Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi tuan pada era kolonialisme menjadi pelayan masyarakat pada era kemerdekaan, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan hukum masing-masing pihak," demikian pertimbangan MK.

Dengan perkembangan teknologi, hal itu juga membawa dampak besar bagi delik penghinaan dalam dua hal. Pertama, penghinaan menjadi lebih mudah dan akibatnya menjadi lebih sering dilakukan, misalnya melalui media sosial.

Kedua, teknologi menjadikan lebih mudah pula pelaporan oleh korban penghinaan. Pada masa lalu, tempat penghinaan dan kantor aparat memiliki jarak yang cukup jauh. Tapi kini, teknologi memudahkan pelaporan atau pengaduan penghinaan sehingga memperpendek jarak tempuh.

Selanjutnya, jika terjadi penghinaan terhadap pejabat negara, lalu pengaduan harus dilakukan sendiri oleh pejabat bersangkutan, dikhawatirkan hal itu akan mengurangi efektivitas mereka dalam bekerja. Apalagi jika jumlah penghinaannya banyak. Sebab, pejabat negara biasanya memiliki kemungkinan lebih besar untuk dihina.

"Tapi potensi kemudahan yang diberikan pejabat negara mengadukan penghinaan berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar," kata Suhartoyo. (asp/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads