Tito mengatakan ada tiga Perkap yang dia buat untuk mengurangi budaya negatif itu, yakni Perkap LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), Perkap Pembelian Barang Mewah, dan Perkap tentang aturan berbisnis anggota kepolisian.
"Kita menekan budaya yang negatif. Tiga hal saya minta (dihilangkan), satu budaya koruptif. Kita jujur, depan Ketua KPK kita lapor LHKPN. Kalau jadi polisi baik dari awal kita pengen dari awal kita juga punya sistem baik kita juga ingin baik dari dulu. Kita juga ingin punya gaji yang cukup, bisa sekolahkan anak, bisa kredit rumah, bisa kredit kendaraan, lain-lain," ujar Tito, Jumat (18/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tito tidak memungkiri terbatasnya gaji polisi menimbulkan penyimpangan hingga budaya koruptif di institusinya. "Oleh karena itu, kita tidak boleh berhenti, selain perbaikan-perbaikan juga perlu komitmen dari kita sendiri juga harus ada," sambungnya.
Untuk menghilangkan budaya koruptif ini, Tito membuat peraturan untuk lingkup internal yang mewajibkan membuat laporan semacam LHKPN ke seluruh jajaran dari perwira tinggi (pati) hingga bintara.
"Makanya saya buat Peraturan Kapolri untuk LHKPN bagi semua anggota Polri. Yang kena UU (setingkat pejabat) lapor ke KPK, penjabat negara, para penyidik, para kepala, semua wajib. Tapi lain-lain di internal, lapor ke Irwasda atau Irwasum," sambungnya.
Tito menegaskan akan ada sanksi khusus bagi anggota yang tidak membuat LHKPN.
"Yang tak lapor LHKPN, sanksinya nggak boleh promosi, tak boleh dapat jabatan yang naik, tak boleh sekolah. Karena ngisi LHKP itu gemetar kita, yang nggak punya duit ya nggak gemetar. Yang punya duit, dari mana uang ini? Ini (untuk) ngerem," paparnya.
Kemudian Perkap tentang pembelian barang mewah berupa kendaraan dan properti. Tanpa terkecuali, seluruh anggota Polri wajib melaporkan pembelian aset berupa kendaraan dan properti.
"Siapa pun yang beli kendaraan dan properti ada angka-angkanya yang harus segera dilaporkan. Pati berapa, Pamen berapa, bintara berapa wajib untuk melaporkan harta kekayaannya. Kalau ketahuan membeli barang itu tanpa melapor ke institusi atau ke Irwasum, sanksinya tak boleh ikut sekolah dan tak boleh ikut promosi, ini buat ngerem," tuturnya.
Kemudian, Kapolri juga mengatur bisnis polisi. Setiap polisi boleh saja berbisnis, tapi harus memperhatikan beberapa hal yang tidak bertentangan, baik dengan hukum maupun yang berpotensi menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan.
"Peraturan di kita tentang bisnis di Polri tahun 2000, yang ditetapkan cuma tiga, (yaitu) bisnis pengadaan di kepolisian, bisnis yang berpotensi merugikan negara, kemudian bisnis yang berbenturan dengan kewenangannya sebagai anggota Polri," imbuhnya.
Setiap anggota yang akan berbisnis diwajibkan membuat proposal. Selain itu, kalangan internal melakukan uji kelayakan terhadap anggota yang akan berbisnis itu, baik dari segi pangkat dan jabatan maupun bisnis yang akan dijalankannya.
"Kalau dianggap tidak melanggar, go ahead. Mau bisnis cukur rambut, restoran. Tapi kalau bisnisnya bersentuhan dengan tugasnya, misalnya mohon maaf, bisnis sandang di daerah dia jadi Kapolres, ya nggak boleh. Nah ini mekanisme bisnis," tuturnya. (mei/rvk)











































