Melihat Keraton Surya Negara dan Pedang Pusaka 1616

Tapal Batas

Melihat Keraton Surya Negara dan Pedang Pusaka 1616

Danu Damarjati - detikNews
Rabu, 02 Agu 2017 15:29 WIB
Keraton Surya Negara, Sanggau. Foto: (Rachman Haryanto/detikTravel)
Sanggau -

[Gambas:Video 20detik]



Mendung yang menggelayut mempercepat langkah kami mengunjungi Istana Surya Negara. Gerbang kerajaan itu terbuka, seakan mempersilakan kami untuk segera masuk di jantung sejarah kabupaten tapal batas ini.

Pada Kamis (13/7/2017) petang, detikcom mengunjungi Istana Sanggau Surya Negara. Hujan turun deras tak lama setelah kaki ini menginjak kayu ulin yang menjadi alas delapan anak tangga Istana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bicara soal Sanggau tak bisa dilepaskan dari sejarahnya, sejarah yang diawali oleh Ratu Daranante. Menurut legenda, putri Melayu itu punya anak hasil perkawinan ajaib dengan seorang Dayak bernama Babai Cinga. Anak turunnya mendirikan Kerajaan Sanggau.

Saat lamunan melayang ke zaman kuno, tiba-tiba seorang pria paruh baya membukakan pintu Istana. Di dalam Istana dipasang potret Pangeran Ratu Gusti Arman dan Ratu Suri Sri Rahmawati. Ada pula foto empat perempuan muda berambut panjang sedang tersenyum. Empat perempuan di foto ini adalah putri dari Ratu Gusti Arman dan Ratu Suri Sri Rahmawati.


Gerbang Keraton Surya Negara.Gerbang Keraton Surya Negara. Foto: (Rachman Haryanto/detikTravel)

Saat melangkah lebih dalam, ada pintu di sebelah kiri. Pria paruh baya itu memperingatkan, "Kalau perempuan sedang halangan (menstruasi), nggak bisa masuk."

Ini adalah pintu ruang penyimpanan benda pusaka. Di sini ada berbagai macam barang, mulai dari lonceng, gong, keris, pedang, Alquran, kayu tua, hingga meriam atau 'lela' dalam bahasa Melayu. Ruangan ini dibagi menjadi dua, cahaya lampu cukup terang di ruang pertama.

Namun untuk ruang kedua, kondisinya gelap. Di ruangan itu tersimpan pedang tua. Senjata itu dianggap memuat makna dalam perjalanan sejarah Sanggau. Pedang apa gerangan yang tersimpan di kegelapan ruang penyimpanan benda pusaka itu?

Pria paruh baya tadi kemudian berbicara di bagian ruangan yang terang. Ternyata dia adalah juru kunci Istana, namanya Gusti Aryono (48), biasa dipanggil Pak Nong. "Itu lampunya putus, belum diganti," kata dia menunjuk ke ruangan yang gelap itu.

Di sebelahnya, ada tiga meriam sepanjang sekitar 1 meter, 90 cm, dan sekitar 80 cm. Dua meriam naga dan satu meriam buaya, merujuk pada bentuk ornamen berseni pada benda besi ini. Pak Nong mengatakan meriam ini bukan difungsikan untuk perang, melainkan barang cinderamata yang diperoleh nenek moyang pada masa lalu. Meriam ini adalah pemberian dari Kesultanan Brunei, kerajaan yang punya hubungan dekat dengan Sanggau.

"Ini benda-benda tua semua," kata dia.

Meriam Lela di Keraton Surya Negara.Meriam Lela di Keraton Surya Negara. Foto: Rachman Haryanto

Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Sanggau yang ikut menemani kami, Baliya namanya, menjelaskan ada cerita rakyat yang mempercayai bahwa dua meriam naga itu punya jenis kelamin, satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Sambil tersenyum, dia menjelaskan bahwa itu adalah meriam beranak, anaknya meriam juga. Namun Pak Nong tak menyinggung soal cerita yang sulit dipercaya itu.

Di sudut ruangan berlantai kayu bengkirai ini, ada dua gong ditumpuk, diatasnya ditaruh wadah tembaga berisikan arang yang sudah tak menyala. Bagian bawah gong ini nampak sudah berlubang, mengindikasikan tuanya usia besi ini.

Gong dan benda-benda khas Keraton Surya Negara.Gong dan benda-benda khas Keraton Surya Negara. Foto: (Rachman Haryanto/detikTravel)

Untuk perawatan, pihak Kerajaan Sanggau Surya Negara melakukan pembersihan secara adat saat digelar upacara Faradje' setiap tahunnya. Faradje' atau Parajek adalah upacara adat khas Melayu Sanggau, bertujuan membersihkan wilayah dari malapetaka.

"Membersihkan benda-benda ini pakai Tepung Tawar," kata dia. Tepung Tawar dalam pemahaman masyarakat Sanggau yakni tepung beras yang telah dibacakan doa.

Selain barang dari besi, ada pula tiga papan kayu tua disandarkan di dinding ruangan. Pak Nong mengatakan potongan kayu ulin ini merupakan cuilan pagar Istana zaman dulu. Dia menemukannya saat menggali di sekitar Istana beberapa waktu belakangan. Penemuan benda-benda bersejarah memang kerap dialami orang-orang sekitar sini, kadang-kadang tanpa disengaja.

"Kalau nyari cacing, ketemu peluru, kayu pagar kuta (istana), kaki meriam," tuturnya.

"Tapi kita bingung tempat menyimpannya," imbuhnya.

Ruangan terang berukuran sekitar 3 x 6 meter persegi. Ruangan gelap lebih luas. Benda-benda yang disimpan sepertinya juga lebih banyak, namun tak pasti juga karena memang tak bisa terlihat jelas. Lalu benda penting apa yang tersimpan di ruangan gelap itu?

Di situ tersimpan pedang yang menandai berdirinya Kota Sanggau. Pedang itu berusia sangat tua. Benda pusaka itu diletakkan di dalam lemari kaca, dekat Alquran dan keris-keris. Lampu penerangan dari ponsel adalah satu-satunya sumber cahaya saya untuk melihat pedang ini.

Pedang diletakkan di atas kain kuning, sarung pedangnya berwarna emas,gagang pedangnya berwarna kekuningan. Pelindung (crossguard) menyatu dengan gagang, melintang vertikal-horisontal. Panjang total pedang sekitar 1 meter, postur pedang terlihat ramping.

Pedang Pusaka Keraton Surya Negara.Pedang Pusaka Keraton Surya Negara. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Pak Nong membuka sarung pedang itu dengan hati-hati, diawali dengan Basmallah setengah berbisik. Terlihatlah bilah pedang itu. Kondisinya berkarat di sepanjang bilah. Namun terlihat ukiran di bagian bilah dekat gagang. Pak Nong menunjukkan.

"1616," itulah angka yang terukir di bilah pedang ini.

Pelan-pelan, dia menyarungkan kembali pedang itu dan memasukkan ke lemari kaca. Pedang inilah yang menandai pendirian Kesultanan Sanggau Surya Negara. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Hari Jadi Kota Sanggau juga mendapatkan kesimpulan dari bukti sejarah yang semakin berkarat ini.

"Hari Jadi Kota Sanggau ditetapkan pada tanggal 3 April 1616," bunyi Pasal 2 di Perda itu.

Ukiran 1616 di pedang pusaka Keraton Surya Negara.Ukiran 1616 di pedang pusaka Keraton Surya Negara. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Di berbagai penjelasan buku tentang Kerajaan Sanggau, memang banyak dicantumkan penjelasan demikian. Misalnya buku 'Pasak Negeri Kapuas 1616-1822' karya Tomi, S.Pd. Namun Pak Nong tak terlalu percaya dengan kesimpulan itu. Dia masih menyimpan kecurigaan bahwa Kerajaan Sanggau berdiri sebelum 1616.

"Kalau dari ceritanya Pak Tomi, berdirinya Kerajaan Sanggau tahun 1616. Padahal sebelum itu, Sanggau sudah ada," kata Pak Nong.

Dia belum bisa mengemukakan alasan detil yang mendasari pendapatnya, kecuali perkiraan bahwa sudah ada wilayah Kerajaan Sanggau di sekitar sini, dekat kawasan yang disebut Muara Kantu', sebelum Kerajaan Sanggau berdiri tahun 1616. "Saya percaya itu sudah ada sejak 1400-an," ujarnya.

Pedang yang terukir angka 1616 itu dipercaya sebagai salah satu bukti keberadaan Kerajaan Sanggau di zaman dulu. Alkisah, sebelum membangun pusat kekuasaan, Sultan Awaludin berusaha membuat terusan menuju Sungai Kapuas supaya mobilitas menggunakan perahu lebih lancar. Namun ada pohon Sangao, sejenis rambutan, melintang menghalangi pembangunan. Akar pohon jenis ini memang terkenal kuat dan sulit ditebas. Akhirnya Awaludin berhasil menebas pohon itu dengan pedang baru dari Mongol, pedang itu bernama Pedang Tan Cam atau Sancam. Diukirlah angka tahun pendirian kerajaan di pedang itu: 1616.

Pedang Tan Cam itu akhirnya disimpan sampai sekarang dan disaksikan detikcom ini. Namun Pak Nong tak terlalu percaya bahwa pedang itu berasal dari daerah Asia Timur. Dia menduga pedang ini berasal dari Eropa.

"Ini lebih mirip pedang Eropa. Lihat saja bentuknya ini, bentuk gagangnya," kata Pak Nong.

Bila dilihat dari bentuk gagang (hilt), ujung pemukul (pommel), dan pelindung (crossguard), agaknya bentuk pedang seperti ini juga mirip dengan pedang khas Mughal India Abad ke-17. Angka yang terukir di bilah menggunakan Angka Arab Barat (Arabic numeral) yang biasa digunakan orang Eropa, bukan Angka Arab Timur, Romawi, Sansekerta, atau Tiongkok.

Pak Nong sendiri mengaku tak tahu detail cerita semua benda yang ada di sini, kecuali hanya beberapa saja benda yang terkemuka. Tak ada juga yang mampu memberitahu soal keterangan dari setiap benda yang disimpan di ruangan pusaka ini. Budaya pencatatan mendetil memang tak terlalu dikedepankan sejak dulu. Itu pula yang menyulitkan penelitian orang-orang yang hendak membuat pendataan sejarah. Tuturan sejarah sering sekali bercampur legenda.

"Sedangkan data otentik tidak ada yang berupa buku atau catatan. Inilah Keraton Sanggau masalahnya. Lain dengan di Jawa sana," ujarnya.

Dia menggelengkan kepala saat ditanya tahun berapa meriam-meriam itu ada di Sanggau, atau pagar istana itu digunakan pada periode apa, termasuk juga soal sejarah keris yang disimpan di dalam. Perlu ada pendataan benda-benda bersejarah berikut penelitian lebih lanjut soal ini semua.

"Harus dicari betul-betul dari mana asal muasal Keraton Sanggau. Ditanya soal tahun berdirinya saja kami bisa bingung, karena masih abu-abu," tuturnya.

Zaman kini sudah sangat berjarak dengan zaman pendirian kerajaan dulu. Untuk itu, segala penilitian dan pencatatan diperlukan guna memastikan sejarah dari bukti-bukti yang tersisa. Istana Sanggau Surya Negara adalah salah satu sisa sejarahnya, inipun sudah tidak mengalami modifikasi karena langkah renovasi total pada 2004 hingga 2006.

"Yang asli hanya tangga kayu ulin di depan itu," kata Pak Nong.

Kayu Ulin di Keraton Surya Negara.Kayu Ulin di Keraton Surya Negara. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Pemeliharaan benda-benda pusaka harus lebih ditingkatkan agar pusaka itu tidak rusak. Ruangan penyimpanan juga perlu lebih ideal tanpa harus membuat bingung di mana lagi harus menyimpan peninggalan yang baru ditemukan seperti yang dialami Pak Nong. Contoh remeh lain: soal lampu. Penerangan ruang pusaka perlu senantiasa dalam kondisi prima supaya barang-barang pusaka tetap terjaga. Bila penerangan terjaga, tak perlu disergap gelap saat melihat Pedang Tan Cam yang bersejarah itu.

"Pemerintah sudah ada perhatian. Cuma pemeliharaannya saja, bagaimana memelihara barang ini dengan sungguh-sunggu karena sangat penting bagi bukti keberadaan Kerajaan Sanggau," tutur Pak Nong.

Istana ini merupakan Rumah Kuta alias rumah utama, tempat raja berkantor dan tinggal. Di dalam juga ada singgasana. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rumah Kuta ini memiliki luas kurang lebih 1.118 m2. Selain itu banyak bagian-bagian lain dalam kompleks istana, sampai Masjid Jami' Sulthan Ayyub. Kawasan Kompleks ini dikenal juga dengan sebutan Muara Kantu', di tepi Sungai Kapuas tak jauh dari pertemuan Sungai Sekayam.

Ikuti kondisi terkini di tapal batas Indonesia hanya di Tapal Batas detikcom!
Halaman 2 dari 2
(dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads