"Kami memohon kepada hakim praperadilan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memberikan putusan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar perwakilan KPK seperti dikutip dalam berkas kesimpulan KPK, Selasa (1/8/2017).
Berkas kesimpulan tersebut tidak dibacakan oleh KPK maupun dari pihak pemohon BLBI. Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, hanya berlangsung singkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Justru keterangan saksi fakta Lukita D Tuwo (Sekretaris Menko Perekonomian 2014-sekarang) yang diajukan pemohon menguatkan perbuatan pemohon dalam menghapuskan piutang dengan menerbitkan surat keterangan lunas, melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara," tulis berkas kesimpulan itu.
Selanjutnya, KPK menegaskan penetapan tersangka atas pemohon Syafruddin telah sesuai dengan prosedur. Karena telah memiliki bukti permulaan yang cukup yang dilakukan penyelidik dan penyidik secara sah.
Selain itu, KPK menegaskan surat keterangan lunas yang diterbitkan untuk obligor Sjamsul Nursalim merupakan ranah hukum publik. Hal itu untuk membantah dalil permohonan pemohon yang menyatakan ranah perkara BLBI merupakan ranah perdata.
"Berdasarkan keterangan ahli pidana yang dihadirkan termohon Adnan Paslyadja, yang pada pokoknya menerangkan bahwa penilaian apakah suatu perkara merupakan ranah perdata atau pidana bukanlah objek dari praperadilan, akan tetapi hal tersebut menjadi kompetensi pemeriksaan pokok perkara," ujar kesimpulan itu.
KPK mengatakan, dalam persidangan sebelumnya, KPK menunjukkan alat bukti surat antara lain T43, T53, T54, dan T56, yang berdasarkan bukti tersebut terlihat, "Adanya rangkaian perbuatan pemohon yang melakukan penghapusan piutang petambak plasma yang seharusnya menjadi tanggung jawab Sjamsul Nurslim di mana hal tersebut bertentangan dengan Pasal 37 ayat 1 dan 2 huruf c UU Nomor 1 Tahun 2004," bunyi kesimpulan tersebut.
KPK juga menegaskan, berdasarkan keterangan saksi ahli Adnan Paslyadja, pihaknya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan perkara ini. Sebab, saat kasus ini terjadi, telah berlaku pula UU 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) dan tindak pidana aquo belum kedaluwarsa.
"Perkara yang disangka dengan UU Tipikor yang ancaman hukumannya dengan pidana mati atau pidana seumur hidup maka kedaluwarsanya berdasarkan Pasal 78 ayat 1 KUHP selama 18 tahun , maka untuk tempus tahun 2004 kedaluwarsanya pada 2022," sebut kesimpulan itu.
Terakhir, KPK menyimpulkan objek penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan termohon adalah berbeda. Karena berdasarkan keterangan eks Menko Perekonomian Kwik Kian Gie yang pernah diperiksa di Kejagung atau di KPK mengakui adanya perbedaan pemeriksaan objek perkara BLBI di kedua institusi itu.
"Saksi secara tegas menyatakan perbedaan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung terkait penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar kurang-lebih Rp 144 triliun. Di mana di dalamnya termasuk kucuran dana ke PT BDNI sebesar Rp 37 triliun (tersangka atas nama Sjamsul Nursalim, tempus delicti tahun 1998)," ujar berkas kesimpulan itu.
Sementara itu, objek penyidikan KPK adalah pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham/surat keterangan lunas untuk Sjamsul Nursalim kepada pemohon terkait penghapusan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. (yld/dhn)