"Maka begitu dia sampai pada waktunya, dia harus terjamin bahwa dia naik haji. Kalau uangnya disimpan saja di giro, contohnya, itu kemakan inflasi, kemakan nilai tukar," kata JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (1/8/2017).
JK menjelaskan, sekitar 60-70 persen pengeluaran haji menggunakan nilai tukar dolar Amerika Serikat atau riyal Arab Saudi. Dengan nilai tukar mata uang tersebut, tentunya berisiko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menginginkan masyarakat dapat berangkat haji. Namun pemerintah menginginkan dana haji itu dikelola dengan baik sehingga dapat membantu jemaah haji. JK mengatakan seharusnya ongkos dana haji berjumlah Rp 70 juta. Namun, selama ini pemerintah menggunakan sukuk (surat utang syariah) sehingga calon jemaah haji hanya membayar separuh biaya total haji.
"Karena kalau dihitung secara normal, ongkos naik haji itu dengan segala macam biayanya, ke dalam negeri, ke luar negeri, biaya pesawat dan makan di sana, itu sekitar Rp 70 juta. Yang dibayar riil oleh jemaah haji itu sekitar 50 persen," terangnya.
"Nah, karena itu, investasi harus betul-betul baik. Investasi itu bukan kepentingan pemerintah, ini kepentingan jemaah, supaya dapat membayar lebih murah. Itu yang terjadi sebenarnya," sambungnya.
Penggunaan dana haji juga harus harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini karena dana haji yang dikelola harus sesuai dengan syariat. JK mengatakan, dengan kondisi itu, pilihan-pilihan untuk pengelolaan dana haji tidaklah banyak.
"Kalau deposito bank komersial, setiap bulan terima bunga imbalan, itu tidak boleh seperti itu. Harus sukuk," ujarnya.
Oleh karena itu, penggunaan dana haji di wilayah infrastruktur dianggap menguntungkan untuk memenuhi syarat-syarat syariat.
"Nah, salah satu yang memenuhi syarat itu, katakanlah beli saham atau bikin perusahaan untuk jalan tol, kan itu terus-menerus income-nya. Karena ini jamaah ini 20 tahun menabung," kata JK. (fiq/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini