Tradisi Jembul Tulakan ini merupakan tradisi sedekah bumi yang digelar masyarakat Desa Tulakan. Tradisi tahunan ini digelar pada hari Senin Pahing berdasarkan penanggalan Jawa bulan Dulkaidah yang jatuh hari ini, Senin (31/7/2017).
Dalam tradisi itu ratusan warga rela berdesakan untuk mendapatkan gunungan. Jembul itu diyakini warga dapat mengusir hama pertanian sehingga panenan melimpah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jembul dari bambu ini disusun menjadi gunungan untuk kemudian diarak dari Rumah Kepala Desa Tulakan menuju dukuh masing-masing. Dalam acara ini, ada empat gunungan jembul yang diarak. Warga yang berada di sisi jalan yang dilalui arak-arakan pun langsung berebut demi mendapatkan jembul.
Maesaroh,35, warga setempat mengaku sengaja ikut berebut jembul, meski harus berdesakan dengan warga lain.
"Jembul ini nanti akan ditancapkan di sawah yang sudah ditanami padi. Warga yakin, jembul ini dapat menangkal hama," katanya, Senin (31/7/2017).
Subekti, seorang tokoh masyarakat Desa Tulakan menuturkan tradisi Jembul Tulakan ini pertama kali diinisiasi oleh Ki Demang Baratha, yakni seorang Demang Tulakan pertama.
"Belum tahu persis tahunnya, tapi yang pertama kali menginisiasi adalah Ki Demang Baratha. Beliau wafat sekitar tahun 1882," papar dia.
Tradisi ini untuk mengenang sejarah dari Ratu Kalinyamat, yang pernah melakukan 'tapa wuda sinjang rambut' atau bertapa tanpa mengenakan pakaian dan hanya tertutup oleh rambutnya yang panjang. Dia melakukan tapa seperti ini setelah suaminya, Sultan Hadiri terbunuh oleh Adipati Arya Penangsang.
Dalam tapa tersebut, Ratu Kalinyamat bernadzar tidak akan mengakhiri pertapaannya sebelum keset pakai rambut dan keramas dengan darah Arya Penangsang.
"Sejarahnya, tempat pertapaannya Ratu Kalinyamat itu ada di Dukuh Sonder di desa sini. Dan, juga ditemukan rambut yang dibungkus dengan bambu. Akhirnya munculah tradisi Jembul Tulakan," terang Subekti.
Ia menjelaskan, prosesi tradisi ini diawali dengan selamatan warga di petilasan pertapaan di Dukuh Sonder, pada Jumat Wage atau Kamis (27/7/2017) malam. Dilanjutkan pementasan wayang kulit, pada hari Minggu (30/7/2017), dan diakhiri dengan mengarak gunungan jembul.
"Prosesi puncak dilakukan dengan membasuh kaki kepala desa dengan air kembang setaman, lalu beliau mengelilingi gunungan sebelum akhirnya diarak ke dukuh masing-masing. Pada intinya tradisi ini untuk mengenang sejarah sekaligus rasa syukur kepada tuhan atas limpahan rejeki yang selama ini diberikan kepada warga," tandasnya. (bgs/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini