Sebagaimana watak warganet kita di era milenial ini, media sosial penuh dengan tulisan-tulisan yang nyelekit dan menganggap Perppu ini adalah arogansi pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat yang disampaikan lewat ormas.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu contoh ormas yang baper dengan Perppu ini. Maklum beberapa waktu sebelumnya Menhankam Wiranto memberi sinyal untuk membubarkan ormas ber-signature khilafah ini. Tuduhan bahwa Perppu dibuat untuk membungkam kritisisme gerakan Islam pun terlontar. Meskipun benar bahwa HTI menjadi "korban" pertama dari Perppu Ormas karena pada 19 Juli Menkumham secara resmi mencabut status hukum HTI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengancam Demokrasi
Perppu ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi kelangsungan keberagaman di Indonesia. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, sementara Perppu Ormas akan mengancam kebebasan berpendapat dan berserikat itu sendiri. Kesimpulannya, ketika Perppu Ormas diterapkan, Indonesia tidak akan menjadi negara demokratis lagi.
Kalau dibaca lebih jeli, Perppu Ormas merupakan landasan hukum pemerintah mencegah upaya main hakim sendiri dengan jalan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian ormas. Ada sanksi bagi ormas yang melanggar peraturan tersebut. Tindakan main hakim sendiri dengan kekerasan seperti itu yang patut mendapat perhatian serius pemerintah karena kekerasan akan menimbulkan dendam.
Trauma di era Orde Baru ketika Soeharto memaksakan Pancasila sebagai ideologi negara, di mana seluruh ormas harus berasaskan Pancasila, kembali muncul. Tidak ada yang menginginkan Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989) terulang. Rezim Soeharto yang memaksakan Pancasila sesuai dengan tafsir versi penguasa, ditakutkan akan bertindak secara represif pada ormas yang tidak berasaskan Pancasila.
Saat itu gerakan-gerakan Islam dan kiri menjadi gerakan klandestin (bawah tanah). Ketika Soeharto berhenti berkuasa, Reformasi menjadi pembuka kotak pandora bagi gerakan-gerakan klandestin tersebut untuk tampil di permukaan.
Masalah dari tidak diterimanya Pancasila adalah sila pertama dianggap sebagai "penguasaan" agama-agama besar terhadap agama-agama lokal. Frasa "Ketuhanan yang Maha Esa" dituduh merupakan bentuk pengekangan pada agama dan kepercayaan yang politheis (banyak Tuhan). Tapi sebetulnya tafsir demikian bisa dihindari apabila semua yang mengaku memiliki agama dan kepercayaan memaknai Tuhan sebagai ekspresi religiusitas mereka.
Strategi Politik
Sebab paling utama dari munculnya suara-suara "nyinyir" terhadap Pancasila adalah karena Pancasila selama ini dianggap gagal menciptakan situasi sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya yang win-win solution. Korupsi di pemerintahan pusat hingga daerah, aset-aset negara yang dikuasai asing adalah contoh kegagalan Pancasila menyejahterakan rakyatnya. Pada situasi yang akut, masyarakat berharap ada solusi lain yang dapat memakmurkan rakyat.
Ketika MPR sejak beberapa tahun lalu mensosialisasikan empat pilar bangsa, di mana Pancasila adalah salah satu pilarnya, rupanya belum ekfektif untuk menciptakan gerakan kultural yang bersifat masif, agar rakyat mendukung tegaknya empat pilar bangsa tersebut. Alih-alih memberi penyadaran kolektif masyarakat akan empat pilar bangsa, kegiatan tersebut jatuh pada sifatnya yang banal dan seremonial, sesuatu yang selama ini menjadi kultur birokratis kita.
Menjadi mafhum jika selama ini Pancasila jatuh pada sifatnya yang prosedural dan menjelma macan kertas. Banyak masyarakat melupakan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara yang berpotensi menyatukan segala perbedaan. Perilaku elite negeri kita tak mencerminkan sosok negarawan yang Pancasilais.
Pancasila sejatinya sangat potensial menampung ekspresi ideologis masyarakat yang majemuk. Kritik bahwa Pancasila jauh dari nilai-nilai Islam, semestinya akan luntur seketika manakala kelima sila dalam Pancasila itu diterapkan secara baik. Pada traktat yang demikian, nilai-nilai yang universal dari Islam akan mampu berdialog dengan nilai-nilai partikular.
Memang sangat ambiguistik ketika Pancasila yang diyakini sebagai ideologi yang tepat untuk bangsa semajemuk di Indonesia, toh kenyataannya belum mampu berbicara banyak. Ekspresi keberagamaan yang menimbulkan gesekan antar-umat beragama, ketimpangan sosial dan ekonomi, suara rakyat yang tersumbat dalam sistem demokrasi, serta keinginan beberapa daerah untuk lepas dari Indonesia menjadi rapor merah yang membuat suara menolak Pancasila semakin gencar.
Yang diperlukan adalah itikad baik dari semua ormas dan penguatan kontrol terhadap lembaga penyelenggara negara agar melaksanakan amanat Pancasila secara benar. Perppu Ormas dapat dipakai sebagai strategi politik untuk menciptakan bargain position pada pemerintah yang membuat aturan bahwa semua ormas harus berideologi Pancasila. Mereka yang menolak Perppu Ormas dan Pancasila bisa nanting (mengultimatum) pemerintah, kalau tak bisa melaksanakan Pancasila dengan baik, jangan berlindung di balik kewenangan.
Junaidi Abdul Munif Pengurus LTN NU Kota Semarang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini