Lima isu krusial ini sempat membuat DPR 'terbelah' karena menyangkut strategi parpol menjelang Pemilu serentak, khususnya di tahun 2019. Sebenarnya, bagaimana pengertian 5 isu krusial yang cukup lama diberdebatkan itu?
Seperti diketahui, lima isu krusial dalam RUU Pemilu adalah ambang batas presidential atau presidential threshold, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif, dan sistem pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
memunculkan siapa sosok capres yang akan maju pada Pemilu berikutnya.
Nah, rencananya kelima isu krusial tersebut akan diputuskan dalam rapat paripurna di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2017) pukul 09.00 WIB. Pengambilan keputusan akan diupayakan secara musyawarah terlebih dahulu.
Apa saja arti dan maksud dari kelima isu krusial itu? Berikut penjelasannya:
1. Presidential Threshold
Presidential threshold menjadi isu krusial di mana setiap parpol di DPR, termasuk pemerintah memiliki kepentingan masing-masing soal angka yang diusulkan. Pengertian presidential threshold adalah ambang batas untuk pengajuan presiden atau wakil presiden.
Pada Pemilu 2014, diputuskan perlunya 20 persen jumlah kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional bagi capres/cawapres yang ingin maju dan didukung parpol atau parpol gabungan.
Namun, berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa Pemilu (Pileg dan Pilpres) dilaksanakan serentak pada tahun 2019. Namun, tidak dijelaskan berapa presidential threshold yang semestinya.
Ada yang menganggap tidak perlu lagi adanya presidential threshold (nol persen), atau masih diperlukan. Di DPR sendiri, terbagi menjadi 3 kubu presidential threshold. Opsinya adalah nol persen (diusulkan Gerindra, Demokrat, PAN), 10-15 persen(diusulkan PKB dan Hanura), dan 20-25 persen (diusulkan PDIP, Golkar,NasDem, PKS, dan PPP).
Hanya saja peta terkini, diprediksi tinggal PAN dan PKB yang masih bisa diajak berkompromi soal angka presidential
threshold. Sedangkan, Hanura condong ke 20-25 persen.
"Komunikasi tetap kami laksanakan. Mudah-mudahan PAN dan PKB bisa bersama-sama dengan kami karena dua partai itu juga merupakan partai pemerintah," ujar Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2017).
2. Parliamentary Threshold
Berdasarkan pasal 208 UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD, dan DPD disebutkan bahwa tiap parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 3,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dalam menentukan kursi di DPR.
Soal angka parliamentary threshold, awalnya sempat menimbulkan perdebatan sengit
di mana ada parpol yang ingin dinaikkan hingga ke angka 7 persen.
Soal peta terkini, parliamentary threshold berkisar 3,5 persen sampai 5 persen saja. Sikap dari pemerintah menginginkan angka tersebut dinaikkan. Begitu juga dengan parpol lain, walau angka tersebut tidak naik secara signifikan.
Saat Pemilu tahun 2014 lalu, PBB dan PKPI tidak lolos ke DPR karena memiliki perolehan suara nasional di bawah 3,5 persen. Nah, jika angka tersebut dinaikkan, parpol kecil dan parpol baru seperti Perindo, PSI, atau Partai Idaman harus kembali menyusun strategi kembali.
3. Alokasi Kursi Per Dapil
Alokasi kursi per dapil yakni rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Saat ini, DPR dan pemerintah sepakat ada 575 daerah pemilihan atau bertambah 15 kursi dari Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012 disebutkan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Nah, mayoritas fraksi sudah sepakat bahwa pembagian kursi per dapil yaitu tetap dalam rentang 3-10 kursi.
Sedangkan, masih ada sebagian kecil fraksi yang ingin diturunkan menjadi 3-8 kursi per dapil.
4. Metode Konversi Suara
Meski jarang terdengar diperdebatkan, metode konversi suara juga termasuk salah satu isu krusial RUU Pemilu. Alasannya, metode yang berbeda mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Saat ini metode suara yang belum diputuskan yaitu kuota hare dan sainte lague murni.
Kuota Hare diusulkan Gerindra, Demokrat, PKB, NasDem, PAN, Hanura, PKS. Sedangkan sainte lague murni condong ke PDIP, Golkar, PPP.
Kuota Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang sudah tidak asing di Indonesia karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu.
Terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota
Hare. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) per S (seat).
Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi.
Sedangkan, metode sainte lague menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara ini bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.
5. Sistem Pemilu
Soal sistem Pemilu, terbagi menjadi proporsional terbuka, proporsional tertutup, atau gabungan keduanya. Sistem proporsional terbuka adalah memilih anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.
Artinya, siapa yang memiliki suara terbanyak dalam pemilu, mereka yang berhak menjadi anggota legislatif. Sistem ini lebih menguntungkan figur yang sudah memiliki nama yang maju dalam Pileg.
Sedangkan, sistem proporsional tertutup adalah sebaliknya. Sistem itu berdasarkan nomor urut. Nomor urut paling atas (misal 1 atau 2) yang berpeluang lolos menjadi anggota DPR. Penentuan nomor urut dilakukan oleh parpol. Sedangkan, pemerintah sempat mengusulkan gabungan dari keduanya.
Namun, kini setiap fraksi dan pemerintah sudah sepakat sistem Pemilu proporsional terbuka. Keputusan ini terlihat dari paket isu krusial yang diajukan ke rapat paripurna hari ini.
Halaman 2 dari 2