Menurut Fadli, presidential threshold atau ambang batas pengajuan capres tidak sesuai dengan konstitusi. Sebab, dalam konstitusi, setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
"Karena kita kan di dalam konstitusi itu kita berhak memilih dan dipilih. Jadi tiap warga negara nggak boleh dipersulit untuk dipilih," ujar Fadli di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fadli, Gerindra tetap ingin tidak ada presidential threshold pada Pemilu 2019. Malah, lanjut Fadli, dalam pemilu serentak seharusnya tidak ada lagi presidential threshold.
"Kita nggak habis pikir logika pemerintah ini, orang sudah jelas-jelas serentak (pemilu) tapi masih maksa presidential threshold harus ada. Menurut saya, logikanya nggak masuk akal, nggak nalar," ucap Fadli.
"Jadi namanya serentak itu nggak ada lagi presidential threshold, harusnya zero (nol)," lanjutnya.
Sebagai fraksi yang menolak presidential threshold, Gerindra akan berjuang lewat voting di DPR. Jika kalah, terbuka peluang untuk judicial review.
"Saya kira ada langkah-langkah lain. Seperti termasuk misalnya dipaksakan ada presidential threshold kan bisa di judicial review," ucap Fadli.
Bahkan Fadli mengatakan istilah presidential threshold seharusnya dihapuskan. Kalaupun yang menjadi alasan pemerintah adalah penyederhanaan, Fadli menegaskan hal tersebut seharusnya berlaku di parliamentary threshold, bukan di presidential threshold.
"Ini persoalan logika yang anak SD pun ngerti. Kalau serentak itu bersamaan, jadi nggak bisa lagi dipakai (presidential threshold)," tuturnya. (bis/imk)