Ary Suta keluar dari gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2017), setelah diperiksa sekitar 3,5 jam. Ia mengaku ditanya soal kapasitasnya sebagai Kepala BPPN.
"Saya ditanyai tentang pekerjaan saya. Nanti tentang pertanyaan saya tanya Bapak (penyidik). Saya kan dulu BPPN, jadi ditanya BPPN. Tentang penugasan yang pernah saya lakukan di situ," tanggapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu menangani (obligor) Sjamsul Nursalim?" tanya seorang wartawan.
"Nggak... Nggak (menangani). Saya mau jalan dulu, ya. Nanti tanya Bapak-bapak di sana, di penyidik," jawabnya enggan.
Ia kemudian ditanya lagi soal penagihan utang Rp 4,8 triliun yang juga berkaitan dengan Sjamsul Nursalim.
"Nanti saja itu nanti. Kalau angka, digit, yang ditanyain itu gede-gede banget," kilahnya sambil tertawa.
Ary Suta kemudian menjawab bahwa memang ada kaitannya dengan periode kepemimpinan BPPN setelahnya, di bawah Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Ada kaitannya. Nanti kita bicara lagi," singkatnya sambil melenggang menuju mobil yang sudah terparkir di lobi sisi kanan gedung. Ia juga sempat berpamitan sebelum akhirnya mobil tersebut melaju keluar.
Sebelumnya selama tiga hari berturut-turut kemarin, KPK memanggil tiga eks Ketua BPPN lainnya. Antara lain Bambang Subianto (1998), Edwin Gerungan (2000-2001), dan Glenn Muhammad Surya Yusuf (1998-2000).
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka selaku Kepala BPPN. Dia menerbitkan surat keterangan lunas atas Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
KPK menyebut perbuatan Syafruddin mengusulkan disetujuinya perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable (berkelanjutan) dan ditagihkan kepada petani tambak Dipasena. Sedangkan selisihnya tidak dibahas dalam proses restrukturisasi, sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan. (nif/dhn)











































