"Adapun substansi laporan kami atas nama diduga Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan 23 nama anggota yang terkait Pansus Hak Angket KPK yang bertentangan dengan Undang-Undang MD3. Di dalamnya ada ketentuan harus 1/2 dari anggota DPR dan 1/2 dari anggota DPR yang hadir untuk pansus angket itu. Tapi nyatanya semua tidak sesuai dan transparan," ujar salah satu anggota koalisi, Julius Ibrani, dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia di MKD, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (12/6/2017).
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga datang ke sini dengan keyakinan laporan akan diproses. Mengingat DPR masih ada citra yang harus dipertahankan ke publik agar tetap percaya," kata Julius.
"Jadi kalau tidak diusut, itu mengamini asumsi publik yang negatif terhadap DPR. Mengatakan DPR tidak relevan dan antikorupsi," tutur dia.
Selain itu, peneliti Indonesia Corruption Watch Tibiko Zabar menjelaskan dua pimpinan DPR tersebutlah yang terlibat dalam pembentukan dan pengesahan Pansus Hak Angket KPK. Menurut Tibiko, hal itu tidak seharusnya dilakukan oleh pimpinan mengingat pembentukan pansus yang cacat prosedur.
"Kenapa mereka berdua (Fahri dan Fadli) karena, saat tanggal 28, Fahri yang memimpin sidang paripurna. Sedangkan Fadli Zon yang membentuk dan mengesahkan Pansus Hak Angket KPK, padahal itu tidak sesuai dengan prosedur," tutur Tibiko.
![]() |
Tibiko dan ketiga rekannya terlihat menggunakan masker penutup mulut. Hal ini dilakukan sebagai simbol bahwa mereka mencium aroma tidak sedap yang ada di Pansus Hak Angket KPK ini.
"Kami memakai masker ini simbol, karena kami mencium bau tidak sedap terkait hak angket terhadap KPK. Kita ingatkan lagi kepada anggota DPR jangan menjadikan hak angket KPK ini dalam kepentingan kelompok dan pribadi jika ingin publik masih percaya," tuturnya.
Kotak meminta empat rekomendasi terkait dengan pelaporannya ini. Fira Mubayyinah, pengajar dari Pusat Pendidikan Anti Korupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, menjabarkan empat hal tersebut.
"Pertama, untuk segera dan secepatnya melakukan pemanggilan kepada terlapor satu, dua, dan tiga. Kedua, menghentikan hak angket yang terus digulirkan tujuannya agar kita menuntaskan perkara korupsi ini selesai. Ketiga, menegakkan kode etik dengan maksimal; dan terakhir, memberikan info update perkembangan pelaporan kami," ucap Fira.
Ia juga mengatakan mekanisme pemberhentian dan hukuman terhadap terlapor harus sesuai dengan prosedur yang berlaku. "Ya tentu tidak keluar dari jalur yang ada. Kita tetap harus sesuai dengan rule-nya," tutur Fira. (lkw/imk)