"Pihak Termohon dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak hadir dan hanya memberikan keterangan tertulis. Kami para pemohon yang mewakili jutaan rakyat penganut kepercayaan di Indonesia dan para kuasa hukum kecewa terhadap DPR, karena tidak pernah menghadiri persidangan dan baru
mengirimkan keterangan setelah 7 kali persidangan berturut-turut," kata tim kuasa hukum pemohon dalam kesimpulan yang dikutip detikcom, Senin (15/5/2017).
Kesimpulan itu telah disampaikan ke MK lewat Panitera MK pada Jumat (12/5). Para pemohon yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ketidakhadiran DPR dalam setiap persidangan menunjukkan ketidakseriusan pembuat UU dalam menyikapi setiap UU yang dipersoalkan warga negara. DPR yang tidak pernah hadir dalam setiap persidangan pengujian undang-undang a quo atau sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar tim hukum dari Elsam.
Dampak dengan berlakunya pasal a quo, Penghayat Kepercayaan tidak tertulis dalam kolom agama di KTP. Dampaknya, para penggugat mengaku mendapatkan diskriminasi dari negara. Penghayat Kepercayaan meminta MK memberikan tafsir bersyarat atas pasal itu. Sayang, DPR tak pernah datang sama sekali.
"Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pembuat UU dalam menyikapi setiap UU yang dipersoalkan warga negara sehingga dapat dikategorikan contempt of court," cetus tim hukum yang terdiri dari Ronald Siahaan, Muhammad Irwan, Judianto Simanjuntak, Sekar Banjaran Aji, Azhar Nur Fajar Alam dan Fatiatulo Lazira. (asp/fdn)