Tidak ada yang bisa menistakan agama selain bahwa ia sendiri yang justru nista. Lalu, bagaimana dengan Ahok? Apakah Basuki Tjahaja Purnama telah menistakan Al Qur'an? Siapakah Ahok? Bagaimana ia sampai bisa menista mukjizat terbesar bagi alam semesta ini? Meskipun ia telah diputus bersalah dan dihukum penjara, apakah itu suatu konfirmasi bahwa Ahok memang telah benar-benar menista Al Qur'an, dalam hal ini Surat Al Maidah ayat 51?
Perdebatan mengenai hal ini tidak akan pernah habis selama manusia masih saja merasa bisa melampaui batasnya. Terus merasa benar, lebih benar, bahkan paling benar dari yang lain. Lebih buruk dari itu, perasaan benar ini mendorong kita untuk menyalahkan orang lain. Padahal, ketika merasa benar, kita baru saja berbuat salah. Membenarkan itu tidak dengan menyalahkan. Kebenaran mungkin bisa dikalahkan, tapi tak akan bisa disalahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semulia-mulia majelis hakim yang mulia, ia bukan tanpa cacat. Pengadilan layak dimuliakan karena diharapkan ia memang memegang teguh kemuliaan manusia dan kemanusiaan. Tidak hanya menegakkan hukum, namun juga mempertimbangkan rasa keadilan. Dan, salah satu di antara sekian banyak cara majelis hakim yang mulia memuliakan pengadilan itu sendiri adalah dengan menempatkan terdakwa sebagai subjek hukum, bukan objek.
Sebagai subjek hukum, maka terdakwa berhak dilindungi harkat dan martabatnya dengan praduga tak bersalah, dan hakim menjadikan perbuatan terdakwa sebagai objek hukum. Jika pun seseorang telah berbuat salah, jika kita harus membenci, bencilah perbuatannya, bukan orangnya. Apa jadinya jika kita yang bukan hakim justru ikut-ikutan menghakimi? Apa hak dan wewenang kita? Atas dasar apa kita mempengaruhi putusan pengadilan?
Adagium termasyur tentang "lebih baik membebaskan seratus orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah" selalu relevan dengan zaman. Terlebih, kini kebencian dan permusuhan terus menggerogoti akal sehat dan hati nurani kita. Kebencian dan permusuhan telah menjauhkan kita dari sifat dan sikap adil. Jika demikian, sesungguhnya siapa yang nista? Sesungguhnya, siapa yang penista? Jangan-jangan, kita yang nista.
Dan tidaklah Allah mengutus Rasulullah Muhammad SAW selain untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil 'alamin. Rasullah sendiri mengatakan bahwa tugas utama kerasulannya ialah menyempurnakan akhlak mulia. Selama hayat, Muhammad SAW mengajarkan kebaikan dan kebenaran kepada umat manusia dengan mencontohkannya. Ia tidak pernah memonopoli kebenaran.
Lebih dari semua itu, tidak setiap salah berujung dosa. Siapa tahu, kesalahan itu hanya berkisar pada urusan manusia, tak sampai Tuhan. Dan, kalau pun berujung dosa, bukankah Allah Maha Pengampun? Persoalannya kemudian adalah apakah kita ringan meminta maaf dan tidak berat memaafkan. Manusiawi jika manusia terus mencari kebenaran dan keadilan. Namun, kita tidak akan pernah menemukannya di dalam nista dan dusta.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)